Tanjung Barat, Jakarta Selatan | Menarik sekaligus Prihatin, ketika membaca pemberitaan tentang adanya perubahan Sistem dan Mekanisme Pendidikan Nasional (di) Nadiem Makarim. Prihatin karena, sekali lagi, terjadi perubahan, (katanya) seturut perkembangan zaman dan 'kebutuhan yang mendesak.'
Dan, yang paling terlihat dari 'Gebrakan Nadiem,' dalam perhatian saya, adalah (i) cara lulus atau selesai belajar pada setiap satuan pendidikan (misalnya SD, SMP, SMA/SMK), (ii) cara lanjutkan atau masuk ke satuan pendidikan berikutnya, (iii) dan (rencana) 'penghapusan' jurusan di SMA.
Serta, lucunya, 'Gebrakan Nadiem' tersebut, lebih menyentuh dan ramai pada pendidikan menengah atas atau SMA; juga mendapat perhatian banyak orang (mungkin karena mayoritas orang Indonesia, lebih menyukai ajaknya sekolah di SMA, bukan SMK).
Kemudian, fakta terbaru, mulai TA 2022/2023, sudah tak ada istilah dan pembagian (jurusan) sesuai minat IPA-IPS- Bahasa. Walau seperti itu, menurut sejumlah Yunior (di Kementerian Pendidikan) yang saya hubungi, "Memang Benar. Tapi tak berarti siswa belajar semua pelajaran. Itu memberatkan mereka." Sehingga yang terjadi adalah,
- Pelajaran wajib di SMA: Pendidikan Agama, PKN, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Seni Musik, Penjaskes, Sejarah.
- Pelajaran dan belajar sesuai Minat: IPTEK-IPA
- Pelajaran dan belajar sesuai Minat IPS-Humaniora-Bahasa
- Untuk proses pemilihan minat, setiap siswa mendapat pendampingan dan bimbingan dari guru (Wali Kelas, Guru BP/BK), mirip dosen pamong di PT, ketika mahasiswa mengisi Kartu Rencana Studi pada awal semester.
- Dengan itu, terjadi ketepatan memilih rencana belajar sesuai dengan minat dan nantinya berlanjut di Perguruan Tinggi.
Note: No 1, 2, 3 sesuai penjelasan Kementerian Pendidikan; 4 dan 5, prediksi saya.
Jadi, terjadi penelusuran minat siswa (sejak kelas 1 atau 2) yang berlanjut pada proses kegiatan belajar mengajar atau KBM) di Kelas; atau penelusuran minat tersebut, baru terjadi di SMA. Toh sama saja; KBM dan Kelas berisi siswa yang mempunyai minat sama.
Padahal, jika mau jujur, untuk menemukan seseorang belajar sesuai minat dan bakatnya, maka harus ditelusuri, ditemukan, diketahui, dan didapat sedini mungkin; minimal sejak Sekolah Dasar. Dari situ, ketika ia belajar di Satuan Pendidikan yang lebih tinggi, tetap fokus pada pilihan yang dipilih tadi. Bukan 'duga-duga' sesuai laporan hasil belajar atau rapor (yang kadang angka atau nilai di dalamnya tak jujur).
Apalagi, sebaran sekolah (SD, SMP, SMA/SMK) di Indonesia, terpisah-pisah, tidak merata. Sehingga kadang seorang anak harus pindah desa untuk melanjutkan sekolah karena di Desa atau Kecamatan, hanya ada SD ataupun SMP. Sebaran sekolah seperti itu, juga berlanjut pada ketidaktahuan guru (pada Satuan Pendidikan yang baru) pada minat dan bakat siswanya (khan baru kenal).
Dan, harus diakui bahwa sebaran sekolah di Indonesia, penyebarannya masih merupakan warisan sistem pendidikan Belanda, (lihat kolom komentar). Pada masa itu, praktis tak ada (satu kompleks) sekolah dari kelas 1 SD hingga SMA (kelas 3). Semua Sekolah terpisah sesuai kebutuhan dan alasan politis.
Artinya, setiap murid/siswa akan terputus (belajar/sekolahnya) di Satuan Pendidikan tertentu, karena ia harus ke/sekolah baru, yang mungkin saja jauh ataupun di Desa/Kecamatan berbeda. Sekolah yang terpisah-pisah seperti itu, kini sudah ditinggalkan, mungkin hanya Indonesia dan negara-negara terbelakang di Afrika.