Bogor, Jawa Barat | Beberapa hari terakhir, katakanlah setelah terjadi pengrusakan di Bandara SoeTa, heboh, ramai, riuh, plus rusuh, bahkan hingga ada nyawa yang tercabut paksa dari badan, terjadi di Jakarta dan sekitarnya. Kehebohan itu, semakin kelabu dan tak dingin, karena sejumlah politisi, bukannya mendinginkan publik, melainkan memanaskan suasana; bahkan Komnas HAM pun ikut menjadi 'pengawal kasus' dan berkomentar
Faktanya, kehebohan tersebut, dan berlanjut dengan simpang siur informasi, serta narasi-narasi pembelaan serta keterpihakan. Narasi pembelaan dan keterpihkan tersebut datang dari dua kubu, katakanlah, yang saling berseberangan. Satunnya dari para pendukung pembuah heboh; lainya dari pihak yang berupaya meredam kehebohan.
Hal yang menambah menggelitik plus keheranan lagi, adalah ada kelompok orang yang terang benderang membela mereka menyerang aparat keamanan, namun tewas tertembak anggota Polri. Orasi, narasi, flyer, image, vidio pendek pun bertebaran di Medso, dengan konten pembelaan dan pembenaran diri. Sementara itu, dari area Nitizen, yang pencinta damai dan perdamaian, serta aparat karena menyerang lainnya
Lalu, apa yang menyebabkan atau memunculkan orasi dan narasi pembelaan serta keterpihakan yang cenderung salah kaprah tersebut? Dalam artian, pembelaan serta keterpihakan yang tidak muncul dari melihat keutuhan (proses) peristiwa, melainkan hanya pada ujung kejadian.
Seya melihat bahwa penyebabnya adalah adanya Solidaritas dan Solidaritas yang Keliru. Solidaritas, bisa berarti ramah dan mampu menerima sesama manusia di/dalam kelebihan dan kekurangannya; juga bisa bermakna keterpihakan atau berpihak pada orang, kelompok, atau kepada mereka (orang-orang) yang memiliki berbagai kesamaan.
Solidaritas biasanya dibangun karena keterpanggilan dan keterikatan untuk membela; membela karena ada kesamaan pilihan, idiologi, etnisitas, agama, golongan, dan lain sebagainya.
Dan, seringkali karena keterpanggilan dan kerterikatan tersebut, menjadikan solidaritas berubah menjadi 'Solidaritas yang Keliru.' Dengan itu, solidaritas yang keliru bisa merupakan penyimpangan atau bentuk pembelaan yang membabi buta tanpa peduli terhadap 'apa itu apa salah atau benar,' nilai-nilai serta cenderungan menyimpang atau pun membela ketikdakbenaran.
Misalnya, solidaritas yang keliru dalam persahabatan (i) biasanya merupakan toleransi pada tindakan-tindakan buruk, (ii) menyembunyikan kesalahan dan berbagai tindak kriminal yang dilakukan sahabat tetap dan terus menerus dalam keadaannya yang buruk.
Dengan demikian, agaknya, bangsa ini perlu 'merubah dan merobah' diri, sehingga mereka tidak terjerbak serta terjerumus dalam asal berpihak (atau pun membela), melainkan (belajar) melihat (menilai dan memahami) segala sesuatu secara utuh. Karena dengan cara itulah bisa terbanguan keutuhan bangsa yang penuh damai dan perdamaian.
Cukuplah