Lenteng Agung, Jakarta Selatan | Sejak lama, bahkan jauh sebelum Abad Masehi, hubungan antara manusia dan hewan begitu erat; utamanya, manusia-anjing dan manusia-kucing serta manusia-monyet. Keduanya, pada banyak sikon, jika terbangun keakraban, maka saling memperhatikan dan menjaga satu sama lain.
Hubungan manusia-hewan tersebut, terbawa hingga abad kekinian; serta hampir pada semua komunitas sub-suku, suku, dan bangsa, memiliki persahabatan dengan hewan; dan dengan itu, memunculkan sejumlah fabel yang diceritakan turun temurun.
Warisan persahabatan dengan hewan tersebut, juga saya dapatkan; sejak kecil, puluhan tahun lalu, di Kupang, hingga sekarang terbiasa dengan anjing. Namun, karena orang-tua, dengan latar pendidikan Belanda, melarang penyebutan anjing (karena dinilai bersifat marah dan makian), maka kami menyebut anjing dengan sebutan dogy (dari dog) atau de hond (Belanda), atau pun nama mereka. Saya pun ikutan menamakan dogy atau de hond milik saya, dengan sebutan, Kajang, Fransa, Mydogi, dan lain sebagainya; kebasaan itu tetap dilakukan hingga di rantau, jauh dari Nusantara.
Maka, sejak pindah ke/kembali ke Indonesia (Cirebon, Mojokerto, Sidoarjo, Surabaya, Batam), kebiasaan itu masih terus dipertahankan. Tapi, sejak menjadi warga Jakarta, tidak dilanjutkan. Penyebabnya, bukan karena tidak punya waktu dan tak mampu memelihara, tetapi karena 'asas hubungan' dengan bertetangga.
Karena, pada waktu itu tinggal di area padat penduduk di Jakarta Utara, dogy dinilai sebagai hewan yang rendah dan manusia tak boleh bersentuhan dengannya. Dogy biasa jaga halaman atau menunggu di depan pintu rumah, kadang mencari teman lain di luar pagar. Nah, Si Dogy milik saya pun, jika keluar dari pagar halaman, pasti jadi jenazah. Ketika, pindah ke Jakarta Selatan, nasib dogy pun sama. Berulang kali seperti itu. Akhirnya, jadi tobat berteman dengan dogy di rumah. Dan, ganti dengan pus atau kucing.
Yah, daripada ribut dengan tetatangga, maka lebih baik ganti berteman dengan pus yang saya sebut sebagai Mak Pus atau Mapus. Lihat foto di atas. Mapus jenis jantan; sehingga sering lompat pagar ke tetangga sebelah. Ini, sering jadi masalah, karena Mapus pun masuk hingga ke dapur tetangga dan mengambil ikan asin tanpa permisi. Akibatnya, harus ganti rugi. Suatu waktu, entah apa penyebabnya, Mapus pergi dan tak pernah kembali.
Nah. Bersahabat dengan dogy atau pun pus, memang menyenangkan; paling tidak bisa membuat maling dan tikus ketakutan. Tapi, itu dia, tidak semua tetangga memiliki pemikiran dan penilaian yang sama, sehingga membuat dogy benasib buruk dan pus luka-luka dipukul.
Selanjutnya? Yah, daripada dimusuhin tetangga, maka lebih baik tanpa dogy dan pus. Sehingga, saya pun 'memilih tetangga tersayang daripada dogy dan pus kesayangan.'
Opa Jappy | Pecinta Dogy dan Mak Pus
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H