Gondangdia, Menteng-Jakarta Pusat | Sudahkah anda membaca beberapa link berita yang tersebar melalui akun-akun Medsos? Coba perhatikan, dari link-link tersebut, berapa banyak dari Kompas.com, Kompoas.id, Tempo.co, Tribunews, Beritasatu.com, Detik, atau Antara? Mungkin tak seberapa jika dibanding dengan sebaran link seperti, katakanlah Kompasiana.com, Indonesiahariini.id, Beritalima.com, dan sejumlah besar situs berita dengan nama-nama yang seru dan 'aneh' lainnya.
Ya. Situs berita seperti Antara, Kompas, Tempo dan kawan-kawan, sejak beberapa tahun lalu disebut sebagai Media (News) Online Mainstream; sedangkan yang lainnya, dijuluki sebagai Media Online Non-mainstream. Pembagian tersebut, walau 'sangat tipis perbedaannya;' faktanya nyaris tidak ada perbedaan antara media online mainstream dan media online non-mainstream. Walau, sama-sama menyampaikan berita ke publik, tapi karena, mungkin, cara pengelolaannya, menjadikan keduanya berbeda.
Hal tersebutlah, yang juga menjadi perhatian Divisi Humas Mabes Polri; ketika ada pertemuan antara Divisi Humas Mabes Polri beberapa waktu yang lalu. Menurut Kadiv Humas Mabes Polri, pada waktu itu, "Perkembangan dan pertumbuhan media oline non-maintream begitu cepat dan sangat banyak menurut jumlah, serta banyak juga yang dikelola secara baik dan benar. Oleh sebab itu, perlu membangun sinergitas antara Polri dan media online dalam penyebaran informasi ke/pada publik, (Note: berdasar catatan saya, pada waktu pertemuan dengan Divisi Humas Mabes Polri).
Lalu, apakah kehadirian ratusan atau bahkan ribuan media online non-mainstream di Indonesia tersbut, apakah bisa dikategorikan sebagai bagian dari Pers Nasional? Tentu perlu suatu telaah yang lebih mendalam.
Dewan pers, telah mengeluarkan sejumlah item aturan dan persyaratan agar situs-situs berita diakui sebagai bagian dari Pers Nasional; sehingga dari ribuan media online non-mainstream, hanya sekitar 100 yang diakui Dewan Pers. Namun, hal seperti itu, pernah diprotes oleh pengelola media online non-mainstream lainnya; penolakan berdasarkan kualitas berita, layout, kejujuran informasi, bahkan kaidah-kaidah dalam Pedoman Pemberitaan Media Siber.
Nah. Bagaimana selanjutnya?
Umumnya, pada masa kini di Indonesia, pers dimaknai sebagai semua bentuk kegiatan yang bersifat pemberitaan (mengumpulkan, membuat, serta memberitakan) melalui media dalam bentuk media cetak seperti koran, majalah, tabloid, dan berbagai buletin kantor berita; serta diperluas menjadi semua media massa yang ada seperti media online, radio, televisi, dan media cetak.
Makna itulah yang kemudian diselaraskan dalam UU No. 40 Tahun 1999, bahwa pers sebagai atau merupakan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memiliki, memperoleh, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dalam bentuk tulisan, gambar, suara, gambar, serta data dan grafik dan dalam bentuk lainnya; penyebaran berita tersebut menggunakan media elektronik, media cetak, dan segala jenis saluran yang tersedia. Serta berfungsi, sesuai pasal 33 UU No 40 Tahun 1999, sebagai sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, serta kontrol sosial.
Jika mengikuti makna dan fungsi Pers menurut UU No. 40 Tahun 1999, semua media (cetak, online, pemberitaan, dan tonton) tersebut merupakan bagian dari Pers Nasional. Tapi, apakah sudah ada pengakuan seperti itu?
Fakta di lapangan, misalnya pada instansi tertentu, terjadi perlakuan yang tidak sama atau berbeda ketika berhadapan dengan jurnalis dari media yang terkenal dan besar; namun akan miring dan curiga terhadap jurnalis dari media yang kurang terkenal, kecil, atau pun dianggap tidak ada pengakuan dari Dewan Pers, walau sudah menunjukkan Kartu Pers, undangan dan surat tugas peliputan.
===