Lihat ke Halaman Asli

Opa Jappy

Orang Rote yang Bertutur Melalui Tulisan

Mereka Menyimpan Benci dan Kebencian Politik

Diperbarui: 19 Januari 2020   12:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi Pribadi

Suplemen: Saya sengaja copas utuh suplemen ini sebagai dasar penulisan artikel berikutnya.

Benci dan Kebencian.

Merupakan suatu sikon tidak suka yang sangat kuat terhadap sesuatu; misalnya seseorang yang benci terhadap yang lain. Kebencian yang kuat dan mendalam itu, menjadikan adanya tindakan-tindakan, perbuatan, kata-kata yang bersifat menyerang terhadap yang dibenci. Benci dan kebencian seringkali tak bisa lenyap, namun bukan berarti tidak bisa berubah menjadi sebaliknya.

Politik Kebencian.

Politik Kebencian, menurut saya, sisi lain (seperti dua sisi mata uang) dari Kebencian Politik. Dua-duanya menyatu, ada, terlihat pada (dalam diri) politisi atau pun Partai Politik.

Dengan itu, karena adanya Kebencian Politik, maka harus ditindaklanjuti dengan Politik Kebencian. Praktek-praktek politik kebencian, (berdasar Kebencian Politik) terlihat melalui ungkapan pernyataan, orasi, narasi yang bersifat ujar kebencian terhadap lawan politik; apa pun yang lawan politik lakukan (ranah privat, keluarga, politik, politis), selalu atau pasti ditanggapi dengan nada dan irama penuh kebencian, tanpa etika, tak bermartabat, bahkan vulgar. Tujuannya adalah, sesuai makna politik, publik dipengaruhi, diajak, untuk membenci lawan politik; walaupun tak ada alasan untuk 'harus membenci.'

Kompasiana

Dokumentasi Pribadi

Bogor, Jawa Barat | Langsung saja; tadi, seseorang yang baru saya kenal di Tempat Duduk Prioritas untuk Manula, (Note: Thanks untuk KAI karena kaum tuwir seperti saya, kini naik KRL Jabotabek, selalu mendapat tempat duduk. Walau kadang menjengkelkan, karena yang tidak berhak duduk di situ (lak-laki dan perempuan muda usia), pura-pura tidur) setelah beberapa menit bercakap-cakap tentang sosio politik RI serta bertukar nomor telepon, ia berkata dengan setengah keras, "Mau ke mana arah bangsa ini?"

Pak Usman, katakanlah itu namanya, yang mantan pejabat tinggi dan sekarang Guru besar di Universitas Swasta ternama di Bandung, melanjutkan bahwa, "Politik dan politisi Indonesia telah kehilangan harga diri, nilai-nilai, dan etika; sehingga masih memelihara benci dan kebencian politik." Saya pun mengiyakan, sambil mencari artikel tentang kebencian politik, dan mengirim ke WA Prof Usman. Beberapa menit kemudian ia turun di Univesitas Indonesia, dan saya melanjutkan ke Bogor.

Ya dan ya. Saya terus mengingat kata-kata dari kenalan baru tadi, "...masih memelihara benci dan kebencian politik."  Sikon itulah yang sementara terjadi di NKRI tercinta, entah kapan bisa berakhir. Suatu sikon yang sebenarnya harus dihapus, dihancurkan hingga tak berbekas; dan dengan itu para Politisi dan Parpol, sejatinya bisa memadukan diri agar sama-sama membangun Bangsa serta Negara.

Saya pun teringat tentang 'Banjir Akhir dan Awal Tahun' di Jakarta, yang korbannya belum selesai diurus, dan banjir kemarin serta hari ini. Ya, BAAT, 'Banjir Akhir dan Awal Tahun' di Jakarta telah memicu (kembali) sesuatu yang seharusnya telah terpendam dan tiada. Yang seharusnya terpendam dan tiada tersebut adalah benci dan kebencian politik.

Faktor Pemicu

Tentang banjir yang melanda Jakarta, semua orang sudah tahu akibat dari (i) hujan yang terus menerus sejak 30, 31 Desember 2019, dan 1 Januari 2020, (ii) luapan Banjir Kanal, (iii) saluran air dalam kota yang dangkal, sempit karena tersumbat sampah, (iv) aliran air menuju saluran atau got semakin sempit atau pada sejumlah ruas jalan tertutup trotoar. Maka untuk mengatasinya, cukup melakukan pembenahan pada (ii) hingga (iv); dan itu mudah dikerjakan oleh Pemda DKI Jakarta. Mengatasi banjir di Jakarta.

Namun, apa-apa yang seharusnya dikerjakan tersebut, ternyata dibiarkan apa adanya; bahkan Pemda DKI Jakarta (lebih) memilih memasang Toa Peringatan Dini di sejumlah tempat (Note: Faktanya, banjir kemarin, toa-toa tersebut tak berfungsi; bahkan ada Ketua RW yang menyatakan, "Saya gunakan WA, pakai Toa brisik") sebagai upaya ingatkan warga agar segera mengungsi. 

Selain itu, ketiadakmampuan Pemda DKI Jakarta mengantisipasi banjir tersebut, berujung pada sejumlah korban melakukan gugatan ke Pemda, dan (tak ketinggalan) para aktivis melakukan Aksi Turunkan Sang Gubernur.

Gerakan para aktivis itulah, (yang hanya berfokus pada banjir dan Gubernur DKI Jakarta), ternyata mendapat balasan atau reaksi tidak setimpal dari para pendukung Sang Gubernur atau PSG. Ketika itu, saat aksi pro dan kontra Sang Gubernur, saya melihat langsung PSG (yang didatangkan dari luar Jakarta) membentangkan sejumlah poster dan pamflet yang membully Presiden RI Joko Widodo, termasuk oleh oknum guru ASN dari MAN 13 Jakarta. Bahkan sejumlah akun FB pun ramai dengan membela Sang Gubernur dengan cara 'mencaci Presiden.' Lha .... apa hubungannya ya?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline