Jakarta | Beberapa hari terakhir, posting di Medsos diwarnai dengan kata 'petitum.' Kata tersebut, langsung menjadi populer serta banyak orang membaca dan membahasnya. Bahkan, terlalu asyiknya mereka diskusi virtual, di Grup WA, hingga ada yang 'menyamakan' petitum dengan petisi, pengajuan, bahkan pentium. Waduh.
Harus diakui bahwa, petitum semakin populer di area publik, ketika Prabowo-Sandi mengajukan Gugatan ke MK; publik yang mengakses isi gugatan tersebut, mendapat istilah-istilah baku dan familiar di kalangan praktisi hukum. Namun, di kalangan awam Ilmu Hukum, mungkin saja tidak memahami makna kata petitum.
Jadi, sebetulnya apa sich petitum tersebut? Mereka yang pernah membaca atau belajar Ilmu Hukum tentu tahu persis bahwa Petitum merupakan istilah yang selalu ada pada praktik Hukum Acara Perdata, bersamaan dengan kata Replik, Duplik, Posita.
Petitum (monggo para hukum menjelaskan sejarah kata petitum) merupakan hal yang dimintakan penggugat kepada hakim untuk dikabulkan.
Petitum berisi tuntutan apa saja yang dimintakan oleh penggugat kepada hakim untuk dikabulkan. Selain tuntutan utama, penggugat juga biasanya menambahkan dengan tuntutan pengganti seperti menuntut membayar denda atau menuntut agar putusan hakim dapat dieksekusi walaupun akan ada perlawanan di kemudian hari,
[Lengkapnya Klik: Replik, Duplik, Posita, Petitum].
Jelas Khan.
Lalu, jika melompat menuju kehangatan kekinian, pada Persidangan Penyelesaian Perselisihan Hasil Pilpres, yang untuk kedua kali terjadi di Indonesia, ada sejumlah petitum yang dilakukan oleh Tim Prabowo-Sandi. Pada intinya, ada kesamaan antara tahun 2014 dan 2019, yaitu meminta agar MK memerintahkan KPU menetapkan Prabowo Subianto sebagai pemenang Pilpres RI.
Petitum seperti itu, sah-sah saja; namanya juga memohon. Namun, apakah ada faktor-faktor yang memperkuat petitum yang Prabowo-Sandi ajukan. Jawabanya ada pada mereka.
Tentu saja, Hakim-Hakim di Mahkamah Konstitusi, walau sudah dilecehkan sebagai Mahkamah Kalkulator, tidak memeriksa berkas perkara dengan setengah hati, tidak serius, atau pun diluar pakem yang berlaku di ranah Hukum.
Mereka, Hakim-Hakim di Mahkamah Konstitusi tersebut, pahami betul bahwa ada hal-hal yang mendasari setiap petitum. Sehingga, mereka juga menerima mengabulkan, dan bahkan menolak petitum karena alasan-alasan hukum yang kuat.
Cukuplah