Suplemen: Tentang Pelecehan Seksual
Beberapa perilaku yang dapat tergolong pelecehan seksual (Menakertrans & ILO, 2011), (i) pendekatan intim/seksual yang tidak diinginkan, (ii) permintaan hubungan intim/seksual yang tidak proporsional, (iii) pelecehan dengan kata-kata yang bermakna seksual, (iv) dijanjikan hadiah/promosi jika melayani permintaan seksual seseorang, (v) diancam dipecat/dipermalukan jika tidak melayani permintaan seksual seseorang atau atasan.
Pelecehan seksual memiliki berbagai bentuk. Secara luas, terdapat lima bentuk pelecehan seksual (Menakertrans & ILO, 2011), yaitu:
- Pelecehan fisik termasuk sentuhan yang tidak diinginkan mengarah ke perbuatan seksual seperti mencium, menepuk, mencubit, melirik atau menatap penuh nafsu.
- Pelecehan lisan termasuk ucapan verbal/ komentar yang tidak diinginkan tentang kehidupan pribadi atau bagian tubuh atau penampilan seseorang, lelucon dan komentar bernada seksual
- Pelecehan isyarat termasuk bahasa tubuh dan atau gerakan tubuh bernada seksual, kerlingan yang dilakukan berulang-ulang, isyarat dengan jari, dan menjilat bibir
- Pelecehan tertulis atau gambar termasuk menampilkan bahan pornografi, gambar, screensaver atau poster seksual, atau pelecehan lewat email dan moda komunikasi elektronik lainnya
- Pelecehan psikologis/emosional terdiri atas permintaan-permintaan dan ajakan-ajakan yang terus- menerus dan tidak diinginkan, ajakan kencan yang tidak diharapkan, penghinaan atau celaan yang bersifat seksual.
Equal Employment Opportunity Commission (EEOC) mendefinisikan pelecehan seksual sebagai pendekatan seksual, permintaan seksual, perilaku verbal dan fisik yang bertujuan seksual di lingkungan kerja (EEOC, 1980). Namun perlu dipahami, bahwa pelecehan seksual tidak harus hanya bertujuan seksual, namun juga dapat bertujuan merusak kinerja seseorang di tempat kerjanya atau menciptakan situasi kerja yang mengintimidasi, keras dan penuh ancaman. Misalkan: pelecehan seksual pada seorang perempuan dengan cara memberikan komentar merendahkan tentang perempuan secara umum.
Sumber: Kanal Indonesia Hari Ini
Salah satu contoh korban pelecehan seksual (oleh atasan), Baiq Nuril, justru ia yang dilaporkan ke Polisi; pengadilan memutuskan ia bersalah dan dihukum. Padahal jika menyimak fakta di Persidangan, maka seharusnya Baiq Nuri tidak dihukum. Kasus Baiq Nuril tersebut, sekali lagi, membuat publi terheran-heran karena korban pelecehah yang mendapat hukuman berdasar UU ITE. Sedangkan, pelecehan yang dialami Nuril, yang bisa menjerat pelaku dengan UU Pornografi, justru dikesampingkan.
'Lemahnya' tindakan hukum terhadap pelaku pelecehan seksual terhadap perempuan tersebut, seakan menjadikan para pelaku suatu kebebasan berbuat atau melakukan hal yang sama dan terus menerus. Sikon tersebut, menjadikan Indonesia telah menjadi darurat kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan.
Bahkan, menurut Komnas Perempuan menunjukkan setiap hari ada 35 perempuan Indonesia yang menjadi korban kekerasan seksual, salah satunya perkosaan. Ini artinya, setiap dua jam terjadi tiga kasus. Itu juga bermakna, pelecehan seksual terhadap perempuan, bisa terjadi setiap saat, tidak mengenal waktu dan tempat, termasuk di ruang publik.
Bagaimana Menyikapinya?
Menyikapi pelecehan seksual, bukan melulu tugas aparat keamaan, melainkan semua pihak; di dalamnya termasuk mereka yang riskan menjadi korban, orang tua, pendidik, tokoh agama dan lain sebagainya. Hal tersebut, misalnya,
Pertama, adalah tentu saja bukan melulu menyalahkan perempuan; dalam artian tidak salahkan tampilan diri, cara bersikap, pakaian perempuan yang menjadi korban pelecehan. Sebab, tak sedikit perempuan berpakaian tertutup seperti biarawati di Filipina dan Amerika Latin, juga mengalami pelecehan dan perkosaan. Tetapi, yang harus disalahkan (diedukasi, diperbaiki moral, dan ditata ulang sikapnya) adalah pelaku pelecehan atau yang melecehkan perempuan. Bahkan, pejabat publik dan masyarakat untuk tidak melakukan kekerasan berikutnya kepada korban dan keluarga melalui pendapat dan pandangan yang menyalahkan korban.