Lenteng Agung, Jakarta Selatan | Kita, anda dan saya, tidak bisa menolak takdir dan nasib dilahirkan sebagai bagian dari Bangsa Negara Indonesia. Mungkin, kini hanya sedikit orang yang dilahirkan pada waktu NKRi belum dilahirkan atau diproklamasikan; dengan demikia, bisa jadi 99 % rakyat Indonesia, sekarang ini, terlahir sebagai 'anak-anak Bunda Pertiwi' Republik Indonesia. Republik yang ada serta dibangun melalui proses perjuangan panjang diiringi air mata, keringat, dan darah, serta pengorbanan lainnya.
Ketika, Anda dan saya, terlahir serta ada, langsung terhisab sebagai bangsa yang multi kultural, etinis, golongan, strata, dan pelbagai perbedaan lainnya. Sehingga bisa disebut Indonesia merupakan kumpulan masyarakat yang multi kultural dan pluralistik di dunia. Di Indonesia ada ratusan suku dan sub-suku dengan ciri khas sosio-kulturalnya masing-masing; mempunyai aneka ragam bahasa suku dan sub-suku; ada banyak cara penyembahan kepada Ilahi sesuai sikon hidup dan kehidupan; bahkan terdapat berbagai macam karakteristik manusia, dan seterusnya.
Semuanya itu adalah Anugerah dari Sang Khalik; semuanya itu adalah kekayaan sosial yang tak terelakan; semuanya itu adalah warna warni Nusantara; semuanya itu adalah kebhinnekaan kita. Ya, negeri ini adalah tanah keragaman, multikulturalisme, pluralisme, penuh dengan kepelbagaian.
Karena itu, para pendiri bangsa telah melakukan suatu kesepakatan bersama yang tertuang dalam dan melalui UUD 45, bahwa
- Negara menjamin kebebasan bangsa Indonesia untuk beragama; dan bukan menentukan rakyat memeluk salah satu atau hanya satu agama. Artinya, adanya peluang dan kesempatan seluas-luasnya untuk keseluruhan rakyat dan bangsa, agar bisa memeluk atau menjadi umat salah satu agama yang ada dan berkembang di Indonesia.
- Tujuan berbangsa dan bernegara adalah adanya kesejahteraan seluruh rakyat, yang di dalamnya terjadi kesetaraan pada semua bidang, termasuk keadilan, hukum, perlakuan, jaminan terhadap kebutuhan dasar rakyat, perlindungan hak-hak asasi manusia, dan keamanan serta kebebasan sosial.
Semuanya masih terus menerus berproses; berproses untuk mencapai tujuan. Proses tersebut terus melalui berbagai langkah dan program pembangunan Nasional. Dalam kerangka itu pun terjadi interaksi dan relasi sosial yang dibangun berdasar spirit cinta kasih, damai, dan kehendak satu sama lain saling memuliakan, serta melintasi sekat perbedaan dan sentiment SARA.
Hal tersebut juga bermakna bahwa, di negeri ini, seharusnya tidak ada tempat, sekecil apa pun, untuk atau adanya konflik dan sengketa karena perbedaan agama, politik, atau etnik serta aneka perbedaan lainnya.
Dengan demikian, segenap anak bangsa di Bumi Nusantara ini, ketika berinteraksi, mau tau mau, terjadi kebersamaan penuh perjumpaan atau berjumpa dengan aneka perbedaan; perbedaan yang juga merupakan anugerah dan berkat dari Sang Pencipta. Dalam perjumpaan tersebut, (akan) terjadi saling menerima, menghormati, menghargai, satu sama lain sebagai saudara berbangsa dan bernegara. Itu, idealnya dan penuh keindahan.
Sayangnya, interaksi yang penuh keindahan tersebut, akhir-akhir ini, justru mengalami degradasi; suatu sikon penurunan kualitas hubungan sosial (dan juga bidang lain). Penurunan tersebut, terjadi akibat banyak faktor, namun menurut saya, sumbangan utamanya adalah perbedaan dan setimen SARA serta beda pilihan (termasuk dukungan) politik. Dua hal yang saling tarik menarik serta bagaikan 'ayam dan telur' atau 'telur dan ayam.'
Hal senada, juga diungkapkan oleh Asep Salahudin (Staf Ahli Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila, Ketua Lakpesdam PWNU Jawa Barat). Menurut Asep,
"Dalam 15 tahun terakhir, politik keindonesiaan sering kali diharu biru narasi kebencian. Keindonesiaan seolah lahir dan dipaksa tampil satu wajah. Sesuatu yang seharusnya sudah selesai tiba-tiba ditampilkan lagi dalam panggung demokrasi lima tahunan, semata untuk mengejar tampuk fana kekuasaan dan pragmatisme politik yang berjangka pendek. Politisasi identitas digoreng sedemikian rupa sampai gosong, bahkan hubungan tetangga rontok dan kekerabatan berantakan. Massa diindoktrinasi dengan paham keagamaan sempit, arkaik, dan sangat menghinakan akal sehat.
Politik yang seharusnya menjadi medan untuk menyeleksi pemimpin amanah, kredibel, punya kemampuan manajerial, tiba-tiba seperti menanggung beban teologis sehingga di panggung kampanye yang tersimak adalah sumpah seranah dan stigma kafir, sesat, bidah kepada mereka yang tak sehaluan keyakinannya. Ayat- ayat Tuhan dikutip bukan demi mengagungkan Diri-Nya, melainkan sekadar cari legitimasi, orang lain tak layak jadi pemimpin,"