SUPLEMEN
Sederhananya, kampanye adalah memberitakan (menyampaikan sesuatu melalui tulisan, gambar, suara dengan berbagai media) daya tarik untuk mendapat perhatian, dukungan, dan pilihan. Isi pemberitaan itu, antara lain kapasitas, kualitas, bobot, prestasi, kelebihan (berdasar data, fakta, arsip, hasil yang telah ada/dicapai), dan keuntungan jika memilih sesuai yang dikampanyekan. Kampanye bisa dan biasa dilakukan oleh/pada berbagai kegiatan; dan utamanya pada proses pemilihan pimpinan (dan pengurus) di pada organisasi tertentu (ormas, keagamaan, kegiatan sekolah, kampus, dan partai politik), dan yang paling umum dilakukan adalah pada kegiatan politik.
Bagaimana dengan Kampanye Hitam;!? singkatnya adalah lawan dari Kampanye. Kampanye Hitam bisa bermakna memberitakan dan menyampaikan sesuatu yang tidak berdasar (bahkan memutarbalikan) fakta, data, arsip, dan hasil yang telah ada/dicapai, berita, dan kabar bohong tentang seseorang (dan organisasi) yang menjadi kompetitor, lawan, dan saingan pada proses pemilihan. Dengan demikian, tujuannya adalah menimbulkan ketidaksukaan (bahkan kebencian) terhadap lawan, saingan, dan kompetitor, dan selanjutnya anggota organisasi, publik, atau pun komunitas tak memilih orang, institusi yang pokok pemberitaan pada Kampanye Hitam.
Kira-kira seperti itulah, gambaran tentang Kampanye dan Kampanye Hitam. Sayangnya, banyak orang salah ngerti tentang hal tersebut, sehingga begitu cepat menuduh dan menuding orang lain (telah)melakukan Kampanye Hitam. Padahal, yang disampaikan adalah fakta dan data mal-prestasi, penyimpangan, ketidakberhasilan, dan hal-hal minus dan buruk yang sudah bukan lagi menjadi rahasia.
Agaknya Kampanye Hitam telah menjadi sisi yang melekat dan tek terpisahkan dari Kampanye, terutama dalam pada dunia politik; bukan saja di Indonesia, namun di mana pun. Jika, pada kampanye (resmi, berizin) maka selayaknya yang terjadi adalah para kandidat (dan juga Tim Ses) menampilkan kompetisi yang elegan dan mendidik publik; sehingga tidak asal kromo, menghantam sana-sini, segala cara dihalalkan, termasuk memakai isu SARA. Oleh sebab itu, para kandidat dan timnya tidak menjadikan area, arena, panggung kampanye hanya sekedar panggung hiburan, pesta, hura-hura, teriak-teriakan penghujatan terhadap lawan, dan pusat kebisingan, serta memacetkan jalan sekitar. Jika hanya itu yang terjadi, maka hanya menimbulkan kekesalan serta ketidaksukaan masyarakat. [Lihat Opa Jappy | umm.ac.id]
Tahun depan, tepatnya pada 15 Feb 2017, ada sejumlah daerah di Indonesia yang melakukan Pilkada atau Pemilihan Kepala Daerah, termasuk DKI Jakarta. Namun, agaknya perhatian publik, lebih banyak ke Pilkada DKI Jakarta. Pilkada Jakarta sangat penting untuk barometer politik di Indonesia. Hasil Pilkada juga akan sangat penting bagi Indonesia dalam kancah dunia. Oleh karena itu, warga Jakarta juga memikul tanggung jawab untuk proses politik yang cerdas untuk Jakarta dan Indonesia yang lebih baik. Pertarungan untuk merebut ‘’Jakarta Satu’’ sudah sepantasnya dilakukan dengan proses dan cara yang cerdas. Mereka, termasuk Ahok, yang merasa pantas untuk menjadi Gubernur Jakarta, semestinya lebih fokus apa yang dibutuhkan rakyat Jakarta sebagai bahan kampanye dan medan persaingan. Proses seperti itu seharusnya membuat politik di Jakarta makin cerdas dan rasional, yang pada gilirannya akan mengarah pada soliditas integrasi warga.
Ya, Pilkada DKI Jakarta, memiliki daya magis politik yang menarik perhatian luar biasa dari berbagai penjuru Nusantara dan juga dunia Internasional. Pasangan Anis-Uno, Agus-Sylvi, Ahok-Djarot merupakan pasangan-pasangan kandidat yang bertarung merebut kekuasaan di DKI Jakarta, namun perhatian publik, setuju tak setuju, pada pasangan Ahok-Djarot. Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dan Djarot, maju diusung Golkar, Hanura, Nasdem, PPP, dan PDIP
Sayangnya, perhatian publik tersebut, bukan melulu pada keberhasilan, karya, dan kinerja Ahok - Djarot, terutama Ahok, melainkan apa-apa yang bisa untuk menjatuhkannya. Perhatian publik, utamanya dari mereka yang anti Ahok, ternyata sudah di luar batas kewajaran, sehingga bisa disebut sebagai kampanye hitam. Serangan kampanye hitam itu, yang sangat gencar, dengan tujuan melemahkan posisinya sebagai gubernur sekarang dan peluangnya dalam Pilkada mendatang. Upaya ini jelas untuk memberi peluang kandidat lain untuk maju, karena kalkulasi politik banyak yang menyebutkan bahwa perlu kekuatan besar untuk menandingi Ahok.
Lihat saja hasil survey Populi Center pada 15 hingga 21 April 2016, misalnya menunjukkan hal itu. Isu reklamasi pantai utara Jakarta dan pembelian tanah Rumah Sakit Sumber Waras, menurut hasil Pusat ini justru menaikkan kepercayaan masyarakat Jakarta pada Ahok. Populi Center juga menemukan bahwa 73,7 persen masyarakat Jakarta puas dengan kinerja Ahok, 81,5 persen puas dengan kepemimpinan Ahok dan 73,3 persen puas dengan kinerja Pemerintah Provinsi DJKI Jakarta. Tentu saja hasil itu membuat peluang kandidat lain, semakin atau agak berat. Dan itu, mereka harus lebih kerja berat untuk meraih perhatian publik.
Lalu, apa yang harus dilakukan untuk melawan Ahok; dan mudah menjangkau banyak kalangan!? Cuma ada satu, yaitu isue agama atau pun sentimen SARA. Isue agama dan sentimen SARA, agaknya telah menjadi pintu masuk ke ruang besar "penyerangan terhadap Ahok." Lihat saja, banyak kelompok atas nama Agama, setiap hari tiada henti menyerang Ahok. Bahkan, pendiri Partai Amanat Nasional (PAN), misalnya, pernah berkomentar bahwa Ahok dengan gaya kepemimpinannya yang rogan tidak pantas menjadi Gubernur Jakarta. Pendapat yang sah saja, hanya sayangnya tidak menyebut siapa yang lebih layak yang bisa ditawarkan pada rakyat Jakarta pada Pilkada mendatang.
Melontarkan isue untuk menyerang calon kandidat lain adalah hal yang umum terjadi dalam politik. Namun sudah sejauh ini, hampir dua dekade setelah reformasi, isu sektarian masih terlalu banyak dipakai. Termasuk untuk menyerang Ahok. Padahal, pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Afif Afifuddin, sudah wanti-wanti bahwa isu suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) itu kampungan dan paling jelek. Isue itu tidak sesuai dengan nilai-nilai kemajemukan bangsa, dan mempunyai daya rusak tinggi; jelasnya penggunaan isu SARA hanya akan merusak bangsa.