Lihat ke Halaman Asli

Opa Jappy

Orang Rote yang Bertutur Melalui Tulisan

Haul Gus Dur, Tanpa Kyai Berjubah dan Bersorban

Diperbarui: 28 Desember 2015   10:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sehari setelah Natal 2015, keluarga besar KH Abdurrahman Wahid mengadakan peringatan enam tahun wafatnya. Kali ini, haul tersebut diadakan pada area Kediaman Gus Dus, Al Munawaroh, Warung Sila, Jagakarsa, Jakarta Selatan, yang lebih dikenal dengan nama Ciganjur.

Pada haul tersebut, nanpak hadir sejumlah tokoh Nasional, pejabat, mantan pejabat, termasuk Menko Kemaritiman Rizal Ramli dan Mensos Khofifah Indar Parawansa. Dan pastinya sejumlah Kyai NU, serta santri-wati dari Pesantren NU.  Bisa juga dikatakan bahwa Haul Gus Dur 2015, memang acaranya para kyai dengan murid-muridnya; para kyai yang datang dengan baju koko, kopiah serta sarung. Mereka tanpil, sebagaimana dalam kehariannya.

Para kyai yang hadiri menampilkan kekhasan Indonesia, dan sebagai “Islam Nusantara.”  Jadinya, tak nampak Kyai-kyai berjubah putih, janggut panjang dan bersorban. Benar. Haul Gus Dur 2015, tak Nampak Kyai berjubah dan bersorban, seperti sering nampak di media tv; kyai bersorban dan jubah putih itu paling sering memimpin laskarnya untuk demo, protes, dan mengkafirkan semua yang beda dengan kelompok mereka. Bahkan, pada setiap demo intoleran, ia tampil terdepan; terakhir ia malah "menghina" budaya Sunda, akibatnya mereka mengalami penolakan serta kurungan massa di Purwakarta.

Mereka yang hadir pada haul, bukan saja orang-orang NU, melainkan dari berbagai latar belakang agama. Misalnya, ada Romo Magnis Suseno, yang duduk di barisan VIP, didepan tempat duduk saya; ada juga Basuki Tj Purnama, sebelum naik ke podium, duduk di belakang saya; serta cukup banyak tamu yang saya kenal sebagai teolog atau pun pendeta. Juga nampak hadir rekan-rekan dari Gerakan Anti Korupsi Alumni Lintas Perguruan Tinggi; yang duduk di jejaran VIP.

Kehadiran sejumlah "bukan NU" ini, apalgi dengan ikon salib di baju atau leher, menjadikan banyak orang mengulurkan tangan sambil berkata, Selamat Natal Pak, sambil senurium ramah; bahkan membuka jalan agar saya bisa sampai di tempat duduk VIP. Waktu meninggalkan acara pun, sama; tak sedikit yang mengucapkan Selamat Natal dengan penuh senyum ramah. Di tempat ini, para Kyai melihat "orang asing" dengan atribut bukan Islam, mereka tidak menjauh dan memalingkan wajah, tapi mendekat serta memberi salam hangat. Hmmm, di "area Gus Dur," walau sudah tak ada, warna serta wajah toleran dan pluralis begitu hangat dan terasa. 

Ya. Haul Gus Dur 2015, kali ketiga yang saya ikuti atau datangi, bisa diadakan sebagai ajang pertemuan NU dengan orang-orang dari berbagai latar belakang agama serta kepercayaan. Mereka menyatu untuk mengenang tokoh besar yang telah memghadap-Nya dalam keabadian. Walau sempat diguyur hujan dan ditemani Guntur, tak mengurangi animo masyarakat yang mengikuti acara melalui sejumlah layar.  Luar biasa, begitu hujan selesai, mereka pun kembali duduk atau berdiri di sekitar layar.

Haul 2015 ini, menurut salah putri Gus, diadakan dengan tena “Merawat Tradisi Merajut Hati,”  bukan sekedar memperingati tanggal dan waktu kematian sang ayah, pada intinya, merupakan momen ingat kembali pemikiran, kata, dan perbuatan Gus Dur dalam rangka kebersamaan, kesetaraan, menghormati, dan mengahargai sesama; dan itu dilakukan untuk dan terhadap semua, tanpa memandang agama, melainkan manusia serta kemanusiaannya. Juga, Gus Dur, merupakan sosok historis, yang kehadirannya sangat bermakna untuk keluarga, bangsa, agama, dan Negara. Oleh sebab itu, tak patut untuk dilupakan.

Pada Haul Gus Dur 2015, di antara para tokoh NU yang menyampaikan pesan-pesan dan kenangan bersama Gus Dur; termasuk Gubernur DKI, Basuki Tj Purnama.  Acara yang diawali dengan doa serta seluruh tamu menyanyikan Indonesia Raya, diteruskan pembacaan ayat Quran, dilakukan oleh trio tilafah,  dan bacaan tahlil serta dzikir. Kemudian sejumlah tokoh menyampaikan pesan, pengalaman, kisah nyata bersama Gus Dur, setelah. Dari para pembicara tersebut ada beberapa catatan menarik, antara lain

Menteri Agama Lukmam Hakim Saifuddin,

“Ajaran-ajaran Gus Dur terus dikenang meski sosoknya telah lama tiada. Pemikiran-pemikiran Gus Dur yang melampaui zamannya sering tak dapat dipahami oleh orang awam. Penjunjung tinggi pluralisme. Ia juga tidak pernah mendikotomikan ilmu, sehingga ia mampu menyatukan konflik antara Islam dan Pancasila yang bertahun-tahun tidak terselesaikan.

Itu sangat luar biasa. Karena betapa sulitnya dahulu orang Islam menerima Pancasila sebagai dasar negara. Sementara pemerintah terus memaksakan dasar negara Pamcasila.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline