Lihat ke Halaman Asli

Opa Jappy

Orang Rote yang Bertutur Melalui Tulisan

Masih Banyak AD yang Lain

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Belum lama ini publik dikejutkan dengan berita penelantaran anak berinisial AD di Perumahan Citra Gran Cluster Nusa Dua Blok E8 No 37 Cibubur. AD yang masih berumur 8 tahun sudah tidak sekolah. Dia diterlantarkan orangtuanya dan dibiarkan tidur selama berbulan-bulan di pos keamanan dan berkeliaran tanpa pengasuhan. Setelah menerima laporan dari tetangga dan RT setempat, akhirnya KPAI bersama kepolisian menjemput AD bersama empat saudari AD yang bernasib serupa. Perlakuan orang tua terhadap anak tidak terjadi kali ini saja, banyak kasus serupa yang mengemuka sebelumnya [kompasiana.com].

 

Mungkin, sama dengan banyak orang Indonesia lainnya, saya tak tahu dan tidak pernah kenal siapa AD; cuma sekedar tahu lokasi tempat tinggalnya. Ya,  AD nama yang tiba-tiba terkenal setelah ia tiada; ia menjadi kenangan, setelah kepahitan hidup serta kehidupannya menghantar dirinya pergi menghadap Sang Pencipta sebelum masanya.

Ya. Kepahitan, derita, dan kepergian AD, sekali lagi menggetarkan sukma Nusantara; membuat banyak bibir dan mulut yang selama ini diam, mengeluarkan suara keras; mereka berseru-seru di banyak media. Juga, kepergian AD menjadikan banyak mata, yang tadinya tak pernah melihat derita dan sengsara orang lain, mengeluarkan air mata kesedihan dan penyesalan. Mereka menyesal dan sedih, karena mengapa AD bisa mengalami hal-hal yang di luar norma-norma kemanusiaan.

Apa pun itu kesedihan, penyesalan, air mata, dan teriakan, semuanya muncul di saat kekinian ketika AD telah menjadi "nama," nama yang melekat dengan penyiksaan serta siksaan; dan pada waktu akan datang, mungkin orang akan menyapa, "Ingat AD,"  "Jangan sampai terjadi seperti AD," dan seterusnya. Mungkin saja, "AD" akan menjadi seperti, pada peristiwa masa lalu, Arie Hanggara, sehingga jika ada kasus pelantaran dan kejahatan terhadap anak, maka orang dengan ringan berkata, "Ari Hanggara Jilid II, III, dan seterusnya."

Ya. Kasus seperti AH, dan terbaru AD, sudah sering terulang, terulang, dan terulang di Nusantara tercinta; dan ketika muncul, hampir semua lapisan berseru serta berteriak lantang. Tapi, berdasar pengalaman, teriakan tersebut hanya sebentar; cuma sesaat, sekedar reaksi agar dunia tahu bahwa Si Yang Berseru dan Si Yang Berteriak itu ada dan memperhatikan anak-anak terlantar; mereka cuma meramaikan suasana dan mengotori udara dengan suara-suara bising yang tak bermakna.

Setelah itu, semuanya berhenti, dan nyaris tak berbuat banyak.

Ketika semuanya lupa dan melupakan, tak lama kemudian kasus-kasus yang nyaris sama terulang; terulang di sebelah sanaa serta di pojok situ, korbannya adalah anak-anak, dan pelakunya adalah orang dewasa.

Mengapa bisa seperti itu!? Pertanyaan yang usang, dan tak mudah menjawabnya. Namun, banyak orang dengan mudah menjawab serta berikan alasan ini-itu. Tapi cuma sedikit yang mencoba untuk melakukan sesuatu agar tak terulang.

Atau mungkin, di negeri ini sudah kehilangan aka sehat!? Tidak juga. Masih banyak orang waras, berpendidikan, kaya raya; dan juga negara ini masih mempunyai pemerintah, yang didalamnya ada institusi yang berjuang serta berkarya demi kesejahteraan sosial, rakyat, termasuk anak-anak. Di negeri ini, juga masih banyak umat beragama dan lembaga keagamaan, yang dalam panggilan serta pelayanan diakonia serta amalnya, mampu melakukan banyak hal dalam rangka sejahterahkan anak-anak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline