Lihat ke Halaman Asli

Opa Jappy

Orang Rote yang Bertutur Melalui Tulisan

[Pemerintah Perlu] Antisipasi Alumni Jihad di Suriah

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13894467911165634689

Teror adalah usaha menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan; meneror bermakna berbuat kejam, sewenang-wenang, semena-mena, paksaan, ancamam, tindakan, kata-kata/pernyataan, dan lain sebagainya untuk menimbulkan rasa ngeri atau takut. Ada banyak cara, kata, tindakan, sikon (yang sengaja diciptakan) secara sendiri maupun bersama yang bisa dikategorikan sebagai teror dan meneror.

Aksi-aksi yang bersifat teror dapat terjadi di mana-mana dan oelh siapa pun juga; semuanya bertujuan agar yang diteror menyerah kalah terhadap yang meneror, sekaligus mengakui eksistensi dan keberadaan si peneror. Lebih dari itu, jika si peneror (si teroris)mewakili institusi dan idiologi, maka ia inginkan agar yang diteror tunduk, takluk, dan berada di bawah naungan serta pengaruh idiologi usungannya.

Terorisme adalah permasalahan yang kompleks, sehingga nyaris tidak menemukan kesamaan definisi untuk mengidentifikasi tindakan, karakteristik, dan akar penyebab terorisme di seluruh dunia. Dengan itu, label ‘terorisme’ digunakan untuk mengidentifikasi tindakan-tindakan yang bisa dikategorikan sebagai terorisme pun bermacam-macam.

Misalnya, pada beberapa negara, terorisme identik dengan aktivitas kelompok revolusioner ekstrim kiri seperti Brigadir Merah di Italia; kelompok ekstrim kanan seperti Neo-Nazi dan Skinheads di Eropa. Juga yang teranyar dan mengdunia adalah kelompok seperti al Qaeda (yang kemudian menyebar ke berbagai negara miskin dan berkembang dengan nama, namun semunya berkiblat pada Al-Qaeda), kelompok yang memadukan idiologi politik, fundamentalis dan radikalisme agama. 

Ada berbagai faktor umum yang menjadi penyebab umum terorisme, hal tersebut adalah

Faktor penyebab struktural, yaitu faktor-faktor penyebab yang mempengaruhi kehidupan masyarakat di tingkat makro (abstrak), yang kemungkinan tidak disadari. Beberapa faktor struktural antara lain ketidakseimbangan demografik, globalisasi, modernisasi yang sangat cepat, transisi masyarakat, meningkatnya individualisme dan ketercerabutan dari akar serta keterasingan dalam masyarakat (atomisasi), struktur kelas, dan lain sebagainya

Faktor penyebab fasilitator (akselerator),meskipun bukan pendorong utama terjadinya terorisme, namun bisa menjadi pemicu; misalnya perkembangan media massa, informasi dan teknologi, transportasi, teknologi persenjataan, lemahnya kontrol negara terhadap wilayah, dan lain sebagainya

Faktor penyebab motivasional,yaitu ketidakpuasan aktual (grievances) yang dialami di tingkat personal, kemudian memotivasinya untuk bertindak; biasanya datang dari (didoktrinasi oleh) tokoh berkharisma yang mampu menggerakan orang-orang untuk bergerak (melakukan teror), sementara dirinya sendiri duduk manis di tempat persembunyian.

Faktor pemicu,yaitu penyebab langsung terjadinya tindak teroris; berupa terjadinya peristiwa yang provokatif atau persitiwa politik tertentu atau tindakan yang dilakukan oleh pihak (dianggap sebagai) musuh yang menimbulkan reaksi tertentu (pembalasan) yang kadang tak langsung berhubungan dengan mereka yang dianggap sebagai musuh.

Di Indonesia sendiri, terorisme dikaitkan dengan keberadaan kelompok Jemaah Islamiyah (JI), kelompok radikal disebut sebagai ancaman serius keamanan di Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Aksi terorisme yang dilakukan oleh kelompok JI dipengaruhi oleh faktor afiliasi dengan al Qaeda, gejolak politik internasional, dan juga kondisi domestik Indonesia, (misalanya, bertumbuh dari ideologis yang bermuatan ajaran agama, antinasionalisme, permasalahan sosial ekonomi seperti kemiskinan dan pengangguran, dan lain sebagainya).

Kelompok JI (yang kemudian beranak-pinak menjadi grup-grup kecil), agaknya, orang-orangnya, tidak murni mantan Darul Islam (DI/Kartosuwirjo, yang ingin membangun Negara Islam Indonesia) yang melarikan diri ke Malaysia pada masa Orde Baru. Di tanah pelarian itulah DI melahirkan dua tokoh, yang belakangan berperan penting pada aksi-aksi teror di Indonesia, yaitu Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir, (menurut info AS adalah anggota Muhammadiyah dan ABB adalah simpatisan Masyumi). Dua orang luar itu, bisa disebut sebagai kelanjutan idiologis dari DI, dan buka DI itu sendiri. Dari merekalah terlahir para aktivis garis keras, (yang kemudian dikenal sebagai para teroris).

Harus diakui bahwah pengaruh, ajaran, didikan Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir, secara langsung maupun tidak, ikut mendorong anak-anak muda dari Asia Tenggara, khususnya Indonesia, Malaysia, dan Filipina Selatan untuka melakukan perjuangan di Afganistan (tahun 1980-an). Di sanalah sinilah doktrin-doktrin salafy jihadi berkembang dengans subur. Doktrin-doktrin tersebut berisikan perintah bahwa setiap muslim wajib untuk melakukan jihad melawan kafir yang menduduki tanah muslimin dan membenarkan aksi terorisme dalam jihad.

Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir, dan anggota-anggota DI lainnya di Malaysia, berhasil membangun kerjasama dengan tokoh jihad dari Afganistan, serta pengiriman anak-anak muda ke Afganistan. Mereka dikirim dengan tujuan untuk belajar ilmu kemiliteran dari akademi militer (yang akan digunakan untuk melakukan jihad di Indonesia). Termasuk belajar di Maktab Al Khidmat, milik Osama Bin Laden, suatu camp pelatihan mujahidin-mujahidin asing dari berbagai negara untuk datang ke Afganistan.

Maka lahirlah alumi Universitas Jihad Afganistan di Indonesia; para alumni itulah yang mewarnai gerakan jihad dan teror di negeri ini.

Bagaimana dengan pejuang jihad dari Indonesia di Suriah/Syira!? Lihat kolom komentar. Dari mana asal mereka!? Apakah kelompok-kelompok kecil yang pernah ikut di Ambon, Poso, Filipina Selatan, atau hasil pelatihan militer di Aceh. Atau mungkin saja, sayap-sayap milter bayangan, bentukan ormas (dan keagamaan) ilegal yang selama ini selalu membela para teroris yang ditembak mati Densus 88 AT Polri.

Sampai saati in, ketika tulisan ini dibuat, belum ada pengakuan dari siapa pun (pribadi, organisasi masyarakat, organsiasi keagamaan, apalagi kelompok teror) tentang (utusan-utusan) mereka yang berjuang di Suriah/Syria.

Lamanya mereka di sana, tentu saja tergantung dari surasi konflik yang sementara berlangsung, serta perdamaian jika itu ada atau tercipta. Akan tetapi, jika Suriah kemudian berkembang seperti Afghanistan, yang perang saudara semakin berkepanjangan, maka ada kemungkina, pada pejuang jihad asal Indonesia pun akan pulang kampung, (Itu pun, jika mereka belum kehilangan kewargenaraan sebagai WNI).  Jika masih memegang Paspor RI, tentu mereka masih bisa masuk Indonesia.

Dan disaat itulah lahir alumni Universiats Jihad Syria di Indonesia.

1389000477825714315

Nah. Bagaimana jadinya dengan para alumni tersebutyang tak ada kerjaannya di Nusantara!? Tentu mereka merupakan kekuatan baru yang siap-siaga meletup dan difungsikan sebagai penganten atau bomber di Nusantara.

Dengan demikian, untuk ke depan, di Nusantara, kasus-kasus teror-terorisme, akan diwarnai orang-orang yang pernah berjuang di Suriah. Oleh sebab itu, menurutku, mereka yang sementara ditahan militer Suriah atau masih berjuang di sana (dan mengalami masalah), sebaiknya dilarang kembali (masuk) ke RI. Karena mereka akan menjadi akar pahit yang beracun serta mematikan bagi kedamaian Nusantara.

klik image untuk lihat infi grafis lainnya/doc indobarometer/wahidinstitute




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline