Kisah dan kasus lima guru honorer yang mengadukan nasibnya ke Wakil Gubernur DKI Jakarta, menjadi bahasan ramai. Bahkan ada situs anti-Ahok, menyebut Wagub DKI tersebut, sangat sadis dan kejam.
Ahok pun telah memberi penjelasan ke media tentang hal tersebut. Kini, nyaris tak terdengar nada protes dari para guru honor akibat kasus tersebut; mungkin semuanya sudah sadari diri, sehingga masing-masing berdiam diri.
Ada yang menarik, dan menjadi perhatian saya, yaitu, Ibu Eva (guru honor) memberanikan memotong wawancara awak media dan Ahok, dan berkata, "Pak, saya sudah 10 tahun menjadi guru honorer kenapa saya tidak lulus PNS, Pak? Teman saya yang baru menjadi guru honorer dan juga anak kepala sekolah kenapa bisa lulus, Pak?"
Menarik, sudah 10 tahun menjadi guru honorer, (biasanya di SD Negeri, tapi ada juga di SMP dan SMA/K Negeri); mengapa hingga sekian tahun belum menjadi PNS atau guru negeri!?
Tentu ada yang salah, namun entah di mana letak kesalahan tersebut.
Berdasar pengalaman (saya pribadi) menjadi Guru Honor di SMP Neg 23 Rungkut Surabaya, SUPM/SMPP Pertanian Sedati Sidoarjo (1983-1985), SMP Neg 1 dan 2 Belakang Padang, Batam (1985-1989), ada catatan menarik tentang guru honorer. Guru honor beda dengan Guru Tidak Tetap (GTT) yang biasanya ada di Sekolah-sekolah swasta. GTT adalah guru dari sekolah lain atau instansi lain, yang mengajar dan hadir di sekolah hanya beberapa jam per minggu.
Biasanya yang mau menjadi Guru Honor adalah mereka yang berlatar pendidikan Sekolah Guru (dulu ada Sekolah Pendidikan Guru dan IKIP).
Juga, siapa Si Mereka itu!? Betul kata Ahok, seringkali Si Mereka itu adalah saudara, sepupu, ponakan, atau anak dari guru atau Kepala Sekolah ataupun orang tertentu dari Dinas Pendidikan setempat.
Bagaimana dengan kualitas akademis mereka!? Banyak yang memadai, namun tak sedikit yang pas-pasan atau bahkan sangat rendah.
Sayangnya, banyak guru-guru honor yang berkualitas, karena nasib dan faktor x, mereka tak lolos seleksi menjadi Guru PNS. Jika seperti itu, jangan tanya siapa yang salah; apalagi bertanya kepada orang seperti Wagub DKI, bisa-bisa mendapat semprotan kekesalan.