Lihat ke Halaman Asli

Opa Jappy

Orang Rote yang Bertutur Melalui Tulisan

[Resensi] Mata Air Keteladanan, Pancasila dalam Perbuatan

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1395480237969552148

Judul               : MATA AIR KETELADANAN: Pancasila Dalam Perbuatan Penulis             : Yudi Latif, MA., Ph.D (Gontor, Unpad, Australian National Univ) Penerbit          : Mizan, Cet I, Maret 2014 Tebal               : 650 hal (Daftar Pustaka, 559-650, tanpa indeks) + xxii halaman Risentor          : Jappy Pellokila

Satu lagi karya Yudi Latif setelah Negara Paripurna (NP), yaitu Mata Air Keteladanan (selanjutnya MAT), yang kemarin bertempat di Nusantara IV, Ged MPRI, diluncurkan ke hadapan publik Nusantara.

Pada NP, Yudi latif berhasil memperlihatkan apa yang seharusnya terjadi pada NKRI sebagai Negara yang dibangun berdasar idiologi Pancasila; apa yang seharusnya terjadi tersebut ternyata tak ada atau tidak terjadi di negeri ini. Dengan jelas NP memperlihatkan jelas bahwa apa-apa yang seharusnya terjadi itu, ternyata bukan ha-hal yang melayang-layang serta terjangkau, tapi perkara sederhana dan patut serta mudah dikerjakan oleh aparat – pejabat Negara, politisi, tokoh agama, dan rakyat biasa, atau siapa pun yang mau menjadikan NKRI tegak berdiri dengan penuh wibawa. Ada banyak paparan historis dan pesan moral sosial dalam NP, yang dapat menjadi acuan oleh pemerintah – politisi – aparat – rakyata dalam kerangka membangun Nusantara yang lebih baik, dengan tanpa memandang sekat-sekat pemisah (karena adanya perbedaan) sara dan idiologi.

Untuk pembaca NP, perlu memperhatikan bahwa pada buku tersebut ada banyak istilah yang memerlukan anda tahu sebelumya. Jadi perlu pemahaman awal mengeai bahasa, istilah sosiologis – antropologi – dan sejenisnya, jika tidak maka akan terjerumus dalam salah mengerti. Dan yang menjadi perhatian saya (secara khusus) adalah, dalam NP, Yudi Latif juga melakukan aktualisasi sila-sila pada Pancasila (dan memang buku ini merupakan uraian-uraian tentang hasil aktualisasi tersebut) menjadi hal-hal berikut (yang kena-mengena sikon kekinian di negeri ini

  • Ketuhanan Yang Berkebudayaan
  • Kemanusiaan Universal
  • Persatuan Dalam Kebhinekaan
  • Demokrasi Permusyarawatan
  • Keadilan Sosial
Diakui atau tidak, Mata Air Keteladanan: Pancasila Dalam Perbuatan, merupakan kelanjutan dari NP, dan masih berkisar aplikasi dari nilai-nilai dari Pancasila.  MAT terdiri dari lima bagian yaitu,
  1. Mata Air Keteladanan dalam Pengamalan Ketuhanan
  2. Mata Air Keteladanan dalam Pengamalan Kemanusiaan
  3. Mata Air Keteladanan dalam Pengamalan Persatuan
  4. Mata Air Keteladanan dalam Pengamalan Kerakyatan
  5. Mata Air Keteladanan dalam Pengamalan Keadailan
Pada bagian-bagian tersebut, Yudi Latif menguraikan panjang lebar tentang bagiamana dan conto aplikasi nilai-nilai Pancasila dalam hidup dan kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Dengan cara semacam itu, diharapkan pembaca mampu meniru dalam kehariannya.

Bagian pertama, Mata Air Keteladanan dalam Pengamalan Ketuhanan,

Menurut Yudi Latif, telah berlalu masa yang panjang ketika gairah keagamaan tidak mendorong kesuburan rahmat kasih sayang, kekuatan etika-moralitas, serta etos kejuangan bagi kemuliaan kehidupan bangsa. Peningkatan jumlah rumah ibadah dan penyelenggaraan berbagai ritual keaga-maan tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesalehan sosial, toleransi keagamaan, dan kebersihan penyelenggaraan urusan publik.

Pemulihan krisis kehilangan tumpuan kepercayaannya ketika agama yang seharusnya membantu manusia untuk menyuburkan rasa kesucian, kasih sayang, dan perawatan justru sering kali memantulkan rasa keputusasaan dan kekerasan zaman dalam bentuk terorisme, permusuhan, dan intoleransi. Untuk dapat keluar dari krisis, suatu bangsa tidak hanya memerlukan transformasi (perubahan) institusional, tetapi juga mem-butuhkan transformasi spiritual yang mengarahkan warga bangsa pada kehidupan etis penuh welas asih. Dalam proses transformasi in persoalan agama tidak berhenti pada apa yang kita percaya, me-lainkan terurama pada apa yang kita perbuat. Untuk itu, agama tidak berarti harus meninggalkan kepercayaan dan ritualnya, tetapi perlu lebih menekankan pentingnya komitmen etis dengan menem-patkan welas asih (compassion) dan moralitas pada jantung kehidupan keagamaan. Nilai-nilai Ketuhanan yang dikehendaki Pancasila, memin-jam ungkapan Bung Karno, adalah nilai-nilai Ketuhanan yang berkebudayaan dan berkeadaban. Yakni nilai-nilai etis ketuhanan yang digali dari nilai profetis agama-agama yang bersifat membebaskan, memuliakan keadilan dan persaudaraan; ketuhanan lapang dan toleran yang memberi semangat kegotong-royongan lam rangka pengisian etika sosial dalam kehidupan berbangsa bernegara. Sila Ketuhanan, meminjam ungkapan Bung Hatta, hanya menjadi dasar hormat-menghormati antar pemeluk agam melainkan menjadi dasar yang memimpin ke jalan kebenaran, adilan, kebaikan, kejujuran, dan persaudaraan. Sila Ketuhanan mengajak bangsa Indonesia untuk meng bangkan etika sosial dalam kehidupan publik-politik dengan mupuk rasa kemanusiaan dan persatuan, mengembangkan hilunak permusyawaratan dan keadilan sosial. Dengan berpegang teguh pada nilai-nilai ketuhanan diharapkan bisa memperkuat pembentukaa karakter, melahirkan bangsa dengan etos kerja yang positif, memiliki ketahanan serta kepercayaan dini untuk mengembangkan potensa yang diberikan dalam rangka mewujudkan kehidupan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Bagian Kedua, Mata Air Keteladanan dalam Pengamalan Kemanusiaan

Sila Kemanusiaan yan adil dan beradab mengandung visi kebangsaan yang humanis, dengan komitmen besar untuk menjalin persaudaraan dalam pergaulan dunia serta dalam pergaulan antar sesama anak negeri berlandaskan nilai-nilai keadilan dan keadaba yang memuliakan hak-hak asasi manusia.

Dalam membumikan prinsip tersebut, para pendiri bang telah mewariskan suatu kemampuan untuk memadukan antara visi global dengan kearifan lokal, antara kepentingan nasional dan manusiaan universal. Di tengah krisis dan tantangan globalisa Indonesia harus mampu menempatkan kepentingan nasional data bingkai nilai kemanusiaan, dengan menjaga sikap empati bagi yang menderita dan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan yang dan beradab dalam memecahkan konflik dalam masyarakat nasional dan internasional. Suatu "vision" perlu didukung oleh kekuatan batin, agar ideal-ideal kemanusiaan bisa diwujudkan bumi kenyataan.

Pancasila seharusnya dijadikan sebagai prinsip pemberadabs manusia dan bangsa Indonesia. Masalah-masalah nasional van menentukan jalannya sejarah bangsa Indonesia sepatutnya dipert nyakan dan direfleksikan dalam kerangka Pancasila, terutama "Kemanusiaan yang adil dan beradab". Berbagai tindakan dan berlaku yang sangat bertentangan dengan sila perikemanusiaan sepatutnya mewamai kebijakan dan perilaku aparatur ncgara dalam kehidupan publik. Kekerasan, kemiskinan, ketidakadilan, dan dengan rasa keadilan dan kemanusiaan, dan oleh karena itu harus dihapuskan dari perikehidupan bangsa.

Persoalan hak-hak asasi manusia (HAM) menjadi tantangan se­dalam membuktikan komitmen kemanusiaan bangsa Indonesia. Komitmen penegakan HAM tidak terbatas pada pemuliaan hak­ii politik, melainkan juga pemenuhan hak ekonomi, dan budaya. Para pendiri bangsa telah merumuskan apa disebut sebagai "tiga generasi HAM", yang mengindikasikan kepedulian bangsa kita terhadap hak-hak asasi manusia sudah rak jauh ke depan. Kenyataan ini mestinya memberi motivasi kepada bangsa Indonesia untuk senantiasa berada di barisan terdepan memuliakan hak-hak asasi manusia dalam kehidupan nasional Intcrnasional di tengah pusaran arus globalisasi yang mengan­potensi dehumanisasi.

Di tengah tekanan globalisasi yang makin luas cakupannya, penetrasinya dan instan kecepatannya, sifat masyarakat yang cenderung lentur dalam menerima pengaruh glo­bersifat positif maupun negatif. Unsur-unsur positif-konstruktif menurut nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, yang menguatkan cita-cita keangsaan, perdamaian, dan keadilan sosial. Negatif, sejauh yang adalah unsur-unsur negatif-destruktif menurut nilai-nilai usiaan yang adil dan beradab, yang menimbulkan permusuhan, dan ketidakadilan. Dalam aneka pengaruh internasional, diperlukan kepemimpin­yarakat politik dan sipil) yang kuat. Kepemimpinan yang melakukan seleksi dan sintesis kreatif antara global vision dan local wisdom, antara kepentingan nasional dan kemaslahatan dengan mengedepankan kerangka penyelesaian berdasarkan "sama-sama menang" (win-win solution) dan pembangunan hak (right-based development).

Bagian Ketiga, Mata Air Keteladanan dalam Pengamalan Persatuan

Indonesia bangsa besar yang mewari kejayaan peradaban Nusantara dan kerajaan-kerajaan bahari terbesar di bumi. Jika di tanah dan air yang kurang lebih sama nenek mu bangsa Indonesia pernah menorehkan tinta keemasannya, tidak alasan bagi manusia baru Indonesia untuk tidak dapat meng kegemilangan. Bila mampu membangun bangsa sesuai dengan dirinya, harkat bangsa ini di pentas dunia bisa sepadan dengan luasan wilayah dan kuantitas penduduknya.

Secara konseptual, Indonesia telah memiliki prinsip dan kebangsaan yang kuat, terpatri dalam semboyan "Bhinneka Tunggal Ika". Suatu prinsip kebangsaan yang dapat mempertemu kesilaman tradisi dan kemajemukan masyarakat Nusantara dan kebaruan negara-bangsa Indonesia; dengan kesiapan untuk menghargai perbedaan seraya mengusahakan persatuan dalam egara, konstitusi negara, bentuk, lambang dan bahasa negara, dan peraturan perundang-undangan sebagai konsensus bersama. Dengan prinsip yang sama, penyelenggaraan negara diharapkan dapat melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia berdasarkan semangat persatuan yang dapat mengatasi paham seorangan dan golongan.

Semangat nasionalisme Indonesia merupakan perwujudan rasa syukur atas karunia Tanah Air yang luas, strategis, kaya, molek dan muk, dengan cara mengembangkan rasa memiliki dan men­i Nusa-Bangsa. Rasa memiliki dan mencintai Nusa-Bangsa terus tercermin dalam semangat persatuan dalam keragaman serta kesanggupan untuk mengembangkan rasa kekeluargaan dengan semangat gotong-royong yang positif dan dinamis. Pada akhirnya, rasa intai, rasa persatuan, rasa kekeluargaan hanya bisa diwujudkan an kerelaan berkorban, mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi dan golongan.

Bagian Keempat, Mata Air Keteladanan dalam Pengamalan Kerakyatan

Tidak ada sitem politik yang sempurna. Dengan warisan tradisi musyawarah, hasrat emansipasi untuk keluar dari pengalaman terjajahan dengan kekuasaan yang menindas, dan kehendak unt mempersatukan berbagai komunitas politik warisan kerajaan dam dari para pendiri bangsa berpaling kepada demo sebagai pilihan yang paling mungkin.

Demokrasi pada hakikatnya merupakan cara mencintai sesama manusia dengan menghormati setiap warga sebagai subjek yang daulat, bukan objek tindasan kekuatan pemaksa atau kekuatan modal. Demokrasi dalam alam pikiran bangsa Indonesia adalah cerminan alam kejiwaan, kepribadian, cita-cita nasional. Demokrasi yang sesuai dengan karakter kebangsaan Indonesia bukanlah yang mengarah pada diktator mayoritas (mayorokrasi) atau tirani minoritas, melainkan  permusyawaratan yang menghargai hak individu (liberal-individual rights), hak kelompok marginal (commumtatirium  rights) dan hak teritorial (territorial rights).

Dalam demokrasi permusyawaratan, kecintaan terhadap sesama warga diekspresikan dengan mengembangkan “negara kekeluargaan" yang mengatasi paham perseorangan dan golongan; serta mengembangkan "negara kesejahteraan" yang dapat menyelenggarakan keadilan sosial.

Bagian Kelima, Mata Air Keteladanan dalam Pengamalan Keadailan

Masyarkat Adil dan makmur adalah tujuan terakhir dari re­volusi Indonesia. Sedangkan terwujudnya keadilan dan kesejah­teraan merupakan bukti paling nyata dari idealitas Pancasila. Jalan untuk mencapai keadilan sosial menghendaki perwujudan negara kesejahteraan ala Indonesia yang tidak saja mengandalkan peran negara secara luas, tetapi juga menghendaki partisipasi pelaku usa­ha dan masyarakat dalam mengembangkan kesejahteraan. De­ngan kapasitasnya masing-masing, mereka harus bergotong-royong memajukan kesejahteraan umum, mengembangkan jaminan ­pelayanan sosial, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta melakukan pembangunan berkelanjutan untuk keadilan dan perdamaian de­ngan karakter kemandirian, sikap hemat, etos kerja, dan ramah ling­kungan.

Perwujudan negara kesejahteraan itu sangat ditentukan oleh inte­gritas dan mutu para penyelenggara negara—disertai dukungan rasa tanggung jawab, rasa kemanusiaan dan keadilan yang terpancar pada setiap warga. Dalam visi mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, berlaku prinsip: "Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing". Tidak sepantasnya pejabat negara cuma mau mendapat untung dengan membiarkan rakyat terus buntung. Maka dari itu, pokok pikiran keempat UUD 1945, "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab", mengandung isi yang mewajibkan pemerintahan dan lain-lain penyelenggara negara untuk memelihara budi-pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita Moral rakyat yang luhur''

Selain hal-hal di atas, dalam MAT, pada masing-masing bagian yang diutarakan, Yudi Latif juga memberi contoh orang-orang (dalam sejarah) dan yang sekarang masih ada, menunjukan keteladan Pamcasila dalam perbuatan. Sehinga, bisa disebut bahwa MAT, sekaligus biografi orang-orang mempunyai komitmen tinggi pada nilai-nilai Pancasila, sekaligus diwujudnyatakan pada hidup dan kehidupan setiap hari. Misalnya, pada Pengamalan Ketuhanan, ada Wahid Hasyim, Hamka, RA Kartini, YB Mangunwijaya, PK Ojong, Nurcholis Madjid, dan lain sebagainya. Pada bagian Pengamalan Kemanusiaan, ada contoh tentang Hoegeng, Baharudin Lopa, dan lain-lain.

Menarik, pada bagian Pengamalan Kerakyaan, dibawah judul Menunaikan Pertanggungjawaban Publik (hal 444-471), Yudi Latif memberi contoh pada yang yang sementara populer dan dibicangkan. Menurutnya, apa yang dilakukan Joko Widodo ini menunjukkan solusi yang menguntungkan banyak pihak, misalanya para pedagang kaki lima di Solo, dalam rangka memperbaiki taraf hidup mereka. Jokowi, juga mendengarkan keluhan para tukang becak yang biasa di depan stasiun (Solo Balapan), dan masih banyak lagi. Semua itu Jokowi lakukan demi menunaikan amanah menjunjung daulat publik dengan melakukan pelayan publeik yang bertanggung jawab.

Selain Jokowi, juga menurut Yudi Latif, Tri Rismaharini, yang lahir di Kediri, Jawa Timur, pada 20 Oktober 1961, adalah srikandi pelayanan publik yang biasa dilakukan Ibu Wali itu tidaklah berlebihan untuk digelari "Super Wali”, sebutan yang bukanlah isapan jempol rekayasa pencitraan untuk mendongkrak popularitas seorang pemimpin, tetapi benar-benar sepadan dengan keaslian kualitas dirinya. Menemukan walikota seperti ini di tengah onggokan sampah pemimpin plastik membuat kita masih optimisme pada masa depan bangsa.

Dengan pendekatan sistemik yang mengintegrasikan e-government, konsistensi kebijakan, ketegasan kepemimpinan, ulusan komitmen pelayanan, kepekaan welas asih, keadilan bagi ua kalangan, dan kemampuan menggerakkan partisipasi rakyat, sformasi kota dengan mudah terlihat. Surabaya, yang selama ini ial sebagai kota kumuh, mengerikan, amburadul dan senjang, cepat berubah menjadi apa yang kota bersih, nyaman, indah, dan berbiaya murah. Apresiasi dan penghargaan telah diper­baik dari dalam maupun luar negeri.

So, masih banyak yang ada pada Mata Air Keteladanan, Pancasila dalam Perbuatan, yang patut dibaca, disimak, dan dipelajari. Jakarta, 22 Maret 2014, Opa Jappy, sehari setelah mendapat buku Mata Air Keteladanan, Pancasila dalam Perbuatan.

doc tumblr/jappy.8m.net

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline