Bendera Republik Indonesia; ditetapkan berdasar UUD 45 serta Peraturan Pemerintah No 40 tahun 1958, dan juga Undang-undang No 24 Thn 2009 Tentang dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.
Berdasarkan semuanya itu, Sang Saka Merah Putih, bisa disebut sebagai tanda dan lambang kewibawaan serta kebesaran bangsa dan negara Indonesia.
Oleh sebab itu, bendera Merah Putih, patut dihormati sebagaimana menghormati kehormatan bangsa dan negara, dan bukan menyembahnya atau menempatkannya sebagai tujuan penyembahan serta dijadikan mantera atau pun jimat.
Dengan demikian ada sanksi yang diberikan kepada siapa pun, jika memperlakukan Sang Saka Merah Putih secara tak benar dan tidak semestinya, (silahkan klik Peraturan Pemerintah No 40 tahun 1958, dan Undang-undang No 24 Thn 2009 Tentang dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan).
Di samping itu, di seluruh wilayah kedaulatan NKRI, tak boleh ada bendera lain, yang dijadikan, disamakan, yang diperlakukan sama seperti Sang Saka Merah Putih; hanya ada SATU bendera yang sah yaitu Merah Putih, sebagai Bendera Negara Kesatuan Republik Indonesia, selain itu tak boleh ada.
Jadi, penggunaan Merah Putih sebagai Bendera NKRI, bukan hanya berdasar nilai historis yang terkandung di dalamnya, melainkan telah diperkuat oleh perangkat undang-undang RI.
Tapi, agaknya banyak orang belum pahami hal tersebut, sehingga mereka mencoba untuk menjepit, mengganti, dan menolak Merah Putih; bukankah dalam UU, menolak Merah Putih bisa juga bermakna menolak kedaulatan NKRI!?
Tanda-tanda penolakan itulah yang ada pada GAM/Aceh, RMS, dan OPM, (belakangan juga muncul bendera hitam khilafah dari hizbut tahrir, ormas pengusung impian/mimpi khilafah). Mereka, tanpa malu-malu mengibarkan bendera sendiri, padahal mengalami penolakan orang masyarakat lainnya.
Lihat saja, …. .
Bendera GAM yang mau dijadikan Bendera Aceh, justru ditolak oleh ABAS: Aceh Barat, Aceh Selatan, dan Gayo; masyarakat di daerah-daerah itu tak setuju dengan usulan adanya bendera Aceh tersebut. Secara khusus ABAS, sejak 2003, sudah berupaya menjadi Propinsi tersendiri, alam arti berpisah dengan NAD; itu pun merupakan penolakan terhadap dominasi politik para politisi eks GAM di Aceh.
Sama juga dengan Bendera RMS, bunyinya hanya ada di Belanda, selain itu tak ada gaungnya, bahkan di Maluku pun, hampir tak terdengar suara dukungan terhadap RMS.