Lihat ke Halaman Asli

Opa Jappy

Orang Rote yang Bertutur Melalui Tulisan

Pemda Bekasi Relokasi Jemaat Tiga Gereja ke Area Tempat Pemakaman Umum

Diperbarui: 17 Juni 2015   11:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14237532181228166553

[caption id="attachment_396504" align="aligncenter" width="300" caption="dok opajappy.com"][/caption] Jemaat tiga Gereja yaitu HKBP, GP d I-Pentakosta, dan GKRI, yang mengalami penolakan dari kelompok intoleran, padahal sebelumnya sudah selesai dan lengkap perizinannya, sejk tahun 2012, kini harus mengalami nasib tragis. Selama ini, akibatnya, sejak penyegelan berlangsung, mereka terpaksa menjalankan ibadatnya menggunakan tenda darurat di sekitar gereja Pemda Kodya Bekasi tak senggup menemukan jalan keluar yang bermartabat dan hanya bisa mengalah terhadap kelompok intoleran. Oleh sebab itu, aparat Kodya Bekasi harus melakukan relokasi terhadap jemaat-jemaat dari tiga gereja di atas. Agaknya, Kodya Bekasi telah menemukan lahan atau area yang tepat  bagi umat Kristen dari tiga gereja tersebut. Oleh sebab itu, seluruh jemaat tiga gereja di Kelurahan Perwira RT 003/24, Bekasi Utara, Kota Bekasi yang dipaksa oleh Pemerintah KotaBekasi agar melaksanakan ibadah rutin di sebidang tanah berukuran 6 x 8 meter di dalam areal Tempat Pemakaman Umum (TPU) Perwira, Kota Bekasi.  Ya, jemaat dari tiga gereja, HKBP, G P di I, dan GKRI, menurut Pemda Bekasi, sangat layak beribidah di kompleks kuburan; sekali lagi, melakukan ibadah di area kuburan. Nanti, mulai Mingggu depan, jemaat-jemaat yang tadinya beribadah di tenda darurat di tanah/lahan gereja yang disegel, akan dipaksa beribadah di Kuburan. Tanggapan Jemaat Sebagai orang yang pernah bersana jemaat Kristen di Wiswa Asri dan Bumi Anggrek Bekasi, saya ikut merasakan perlakukan Pemda Kodya Bekasi dan Pemda Kab Bekasi terhadap warga gereja atau umat Kristen di sana. Agaknya, bagi mereka, "tak ada tempat bagi umat Kristen" di wilayah tersebut, sehingga selalu saja berpihak pada unsur-unsur intoleran; dan dengan itu, sebagai alasan untuk menyegel gereja. Beberapa warga jemaat tiga gereja tersebut, berdasar wawancara langsung yang saya lakukan hari, menyatakan antara lain, "Negara, tidak ada di Bekasi;"  "Ada ketidakberdaayan negara terhadap kelompok minoritas;" "Dengan cara-cara seperti itu, Pemerintah Pusat harus hadir dan memberik rasa aman beribadah di tempat yang layak; bukan di kuburan." Dan masih banyak lagi keluhan yang mereka berikan atau sampaikan. Sementara itu, Pendeta Gereja HKBP, Hotman Sitorus dengan tegas menolak rencana relokasi tempat peribadatan jemaat Gereja HKBP serta 2 Gereja lainnya; dan beribadah adi araea Kuburan. Menurut Hotman Sitorus,  "Relokasi yang dilakukan Pemkot Bekasi manusiawi, karena memilih tempat peribadatan di dalam lingkungan pemakaman; langkah pemerintah sengaja untuk memberanguskan umat kristiani dari wilayah setempat. Kami ini manusia yang masih bernyawa, apakah pantas diperlakukan seperti orang yang sudah mati. Kuburan itu bukan tempat yang layak untuk menjalankan peribadatan, kenapa Pemerintah memaksa kami kesana. Jika kami tidak boleh mejalankan ibadat sesuai agama kami, lebih baik dilarang daripada dilecehkan seperti ini,” Tanggapan DPRD Bekasi Menurut liputan Bekasi.co.id,  Enie Whidiastuti, anggota Fraksi PDI Perjuangan DPRD Kota Bekasi, menilai langkah yang diambil Pemkot Bekasi tanpa pemikiran yang matang. Menurutnya,

"Meskipun di Kota Bekasi mayoritas beragama islam, tidak pantas jika Pemkot Bekasi memperlakukan kaum minoritas dengan cara yang tidak manusiawi. Menang tidak ada tempat lain selain di dalam kuburan? Pemkot Bekasi harus hati – hati dalam memutuskan relokasi tempat peribadatan.

Apapun alasannya, sangat tidak pantas jika kuburan dijadikan tempat peribadatan,  Jika pemerintah mau melarang atau mau meratakan gereja dengan tanah, ya sudah lakukan saja, tetapi jangan injak harga diri mereka. Semut pun akan menggigit apabila tertindas.

SUMBER: /OPAJAPPY.COM Pembiaran oleh Negara

Struktur tata kelola pemerintah NKRI telah menjadikan adanya tingkat memeritah dari pusat hingga daerah. Presiden sebagai pusat kekuasaan Nasional, di bawahnya ada Pemerintah Daerah (Pemda), yang dipimpin oleh Gubernur, Bupati - Walikota. Di samping itu, ada juga perangkat daerah yang fungsinya bersama Gubenrur, Bupati - Walikota menata dan mengelola daerah sesui dnegan garis kebijakan dari Pemerintah Pusat, sambil tak melupakn kepentingan (pembangunan, kebutuhan, sikon, dan lain sebagainya) daerah masing-masing.

Pemda, dalam fungsi dan kerjanya, menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi, serfta ketreikatan dalam frame NKRI yang berdasar Pancasila. Karena frameitulah maka Pemda tidak bisa jalan sendiri menganai (hal-hal yang berhubungan dengan) politik luar negeri, pertahanan; keamanan; yustisi; moneter dan fiskal nasional; dan agama (UU RI No 32 Tahun 204 Tentang Pemda).

Dengan demikian, sercara khusus, maka hal-hal yang berhubungan dengan agama (ini yang kusoroti), harus - tetap menjadi urusan Pemerintah Pusat. Artinya, Pemerintah Pusat tak bisa melepaskan diri - mengelak - melakukan pembiaran jika terjadi hal-hal yang bersifat konflik - masalah yang ada hubungannya dengan agama-agama, termasuk di dalamnya (tak memberi) izin pembangunan tempat ibadah (yang kemudian diikuti dengan pembongkaran) dan sikap-perlakuan Pemda terhadap umat dari (agama-agama dan juga aliran) yang minoritas.

Nah …

Dan kini, ketika melihat kenyataan di Bekasi, yang cuma selangkah dari Istana Negara, perlakuan intoleran - penghambatan - penindasan terhadap minoritas, ternyata Pemerintah Pusat hanya diam, diam, dan diam,

Agaknya sudah menjadi nasib rakyat dan bangsa Indonesia, terutama mereka yang minoritas dan mengalami perlakuaan sangat buruk dari Pemda; mereka tak bisa dan memang tak perlu lagi bersuara ke Pemerintah Pusat. Tak perlu lakukan, karena semua kejadian - pelecehan - penindasan - perlakuan Pemda tersebut telah dibenarkan - dibiarkan - direstui oleh Pemerintah Pusat.  Indikasinya sangat jelas, Pemerinrtah Pusat tak mau (dengan wewenang dan kekuasaan yang ada padanya) melakukan penyelesaian terhadap kasus-kasus intoleransi yang menimpa minoritas atau yang dilakukan oleh oleh Pemda terhadap minoritas. Akhirnya saya tertunduk dan MALU; malu karena di antara bangsa dan negaraku ada aparat yang kalah terhadao Intoleran

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline