Dalam sebuah upaya paksa alih kelola di Kampus Hijau, Republik Serpong, pelaku yang juga seorang ayah mahasiswa Jurusan Teknik Kimia berteriak kepada semua staf dan dosen orang di kampus: "Jangan macam-macam! Utang adalah kewajiban Rektor dan Ketua Yayasan. Mahasiswa adalah urusan dosen. Nilai mahasiswa adalah wewenang dosen. Kuncir adalah hak saya. Izin kampus segera kami pindahkan ke Tim Transisi..!!"
Semua orang di kampus langsung tersenyum-senyum dan bertiarap dengan tenang. Ini disebut teori "Mengubah Konsep Berpikir". Artinya, pelaku upaya alih kelola kampus itu mencoba mengubah cara berpikir yang konvensional. Yakni, izin kampus bukan barang yang nyata yang bisa dipindahkan begitu saja.
Ketika melihat seorang staf wanita berbaring di meja dengan posisi yang merangsang, perampok berteriak padanya: "Harap sopan! Ini bukan upaya menutup atau menguliti kampus. Kami sudah lapor ke Badan Pendidikan Tinggi dan Koordinator Pendidikan Swasta. Ini adalah upaya meluruskan keberlanjutan Kampus Hijau, bukan rencana perkosaan!!"
Tindakan pelaku berkuncir ini disebut "Upaya Bersikap Profesional". Pelaku hanya memusatkan perhatian pada hal-hal yang sudah direncanakan dan dibahas berbulan-bulan dalam rapat dan berusaha mengerjakan urutan tindakan yang dijadwalkan harus dilakukan. Tidak tergoda oleh rangsangan syahwat.
Ketika kawanan pelaku kembali ke markas Tim Transisi, pelaku berkuncir (ayah mahasiswa Teknik Kimia) berkisah dengan bangga kepada rekan perempuan yang biasa mengantarkannya ke mana-mana. Kebetulan perempuan itu berpendidikan lebih tinggi namun juga orangtua mahasiswa di Kampus Hijau. Kata pelaku berkuncir: "Wahai Cantik, mari kita hitung berapa banyak uang yang bakal kita punya dari pembayaran mahasiswa. Berapa banyak utang teman-teman yang tidak perlu dibayar. Dan berapa banyak kita bisa menguliahkan anak tanpa harus bayar uang kuliah."
Perempuan yang berpendidikan lebih tinggi itu berkata: "Engkau sangat bodoh, Kuncir. Terlalu banyak banyak mahasiswa yang ada di Kampus Hijau. Ada yang dapat beasiswa, sehingga tidak perlu bayar. Ada lagi yang dapat keringanan. Perlu waktu yang lama untuk menelusuri daftarnya satu per satu. Malam ini, pasti berita TV akan memberitahu kita tentang berapa banyak uang yang bisa kita kumpulkan dari pembayaran kuliah para mahasiswa. Kalau mau lebih rinci, besok bisa kita baca dari media cetak...!!"
Ini disebut dengan pengamalan opini berdasarkan fakta atau "Pengalaman Berlandaskan Pendidikan." Saat ini, banyak yang berpendapat pengalaman lebih penting daripada kualifikasi yang tertulis di kertas ijazah. Padahal, pengalaman yang dilandasi dengan pendidikan sering kali lebih bijak!
Di Kampus Hijau, setelah para pelaku pergi, Ketua Yayasan menyarankan agar kasus itu secepatnya dilaporkan kepada polisi. Tapi Rektor dengan tenang menanggapi: "Tunggu! Mari kita panggil mahasiswa yang akan lulus tahun ini. Kita beritahu nama mahasiswa anak para pelaku itu kepada ratusan mahasiswa yang kelulusannya bakal terganggu. Supaya mereka tahu, ada orangtua teman mereka yang membahayakan kelulusan dan wisuda di kampus ini."
Ini disebut aplikasi "Manajemen Krisis". Yakni konversi dari situasi yang tidak nyaman menjadi keadaan yang bisa lebih menguntungkan!
Petang harinya, sejumlah TV melaporkan tentang penganiayaan terhadap beberapa mahasiswa oleh teman-temannya sendiri. Esoknya media cetak mengulas, korban penganiayaan adalah anak-anak para pelaku yang mencoba menggagalkan wisuda sebuah kampus.
Di Markas Tim Transisi, awalnya kawanan pelaku masih dibuai suasana gembira menghitung manfaat kegiatan mereka mengambilalih pengelolaan kampus dan mengulang berkali-kali penghitungan keuntungan. Mereka juga sudah berangan-angan bisa menghubungi sejumlah korporasi buat minta CSR. Bahkan sudah memikirkan cari peluang meraup keuntungan dari orang-orang yang mengajukan tax amnesti. Pelaku berkuncir terperangah ketika hanya bisa menemukan keuntungan tidak membayar kuliah buat anaknya yang sedang menjalani semester ke enam. Para pelaku alih kelola sangat marah dan mengeluh: "Kita mempertaruhkan harga diri dan susah-sudah mengantar dosen pembangkang serta jadi saksi di Badan Pendidikan Tinggi maupun Koordinator Pendidikan Swasta. Kita sudah susah-susah tebarkan isu ke sana kemari. Kita sudah bentuk Tim Transisi, Kita sudah rebut pengelolaan kampus. Akhirnya anak-anak kita yang di-bully teman-temannya sendiri."