Lihat ke Halaman Asli

Kopral Jabrik

diisi apa?

Lentera dan Pelangi Irwanto

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1424697562635238966

[caption id="attachment_370287" align="aligncenter" width="630" caption="Peringatan ulangtahun ke 6 Lentera Anak Pelangi di Unika Atma Jaya, Jakarta"][/caption]

Minggu 22 Februari 2015 saya diajak menghadiri peringatan ulangtahun ke 6 Lentera Anak Pelangi (LAP) di Universitas Katolik Atma Jaya di Jakarta. LAP didirikan antara lain oleh Prof Irwanto, yang programnya bertujuan mengurangi dampak buruk HIV-AIDS pada anak yang dilahirkan dari orangtua ODHA (Orang Dengan HIV AIDS) Penasun (Pengguna Napza Suntik) di DKI Jakarta. LAP berdiri pada 22 Februari 2009, merupakan kerjasama Pusat Pemberdayaan Masyarakat (PPM) Unika Atma Jaya Jakarta, Komisi Penanggulangan AIDS, dan Yayasan STIGMA.

Fokus program berbasis komunitas ini berupa intervensi yang dikhususkan bagi anak-anak yang terdampak HIV-AIDS dari orangtua ODHA Penasun di DKI Jakarta. Belakangan ini wilayah kerjanya mulai merambah beberapa tempat lain di sekitar Jakarta. Di awal tahun 2015 ini, LAP dengan tiga orang manajer kasusnya memantau sekitar 80 keluarga yang terdampak HIV-AIDS.

Melalui intervensinya, pihak LAP berusaha meningkatkan kualitas hidup anak dari pasangan Pengguna Napza Suntik (Penasun) yang mempunyai sero status positif. Selain itu,LAP juga berupaya mengurangi angka kesakitan dan kematian anak dengan HIV (melalui intervensi kesehatan dan gizi), mencegah anak-anak memperoleh perlakuan buruk (karena status orangtua atau dirinya sendiri), meningkatkan keterampilan hidup anak dalam menghadapi berbagai tekanan sosial psikologis (karena situasi keluarganya dan status dirinya) dan bersama pemerintah membangun model intervensi multi-disiplin yang dapat dikembangkan di masyarakat.

[caption id="attachment_370289" align="aligncenter" width="546" caption="Prof Irwanto di kursi roda, menikmati keceriaan anak-anak penyandang HIV-AIDS"]

14246976741924992646

[/caption]

Secara umum, semua itu dilakukan dalam bentuk kegiatan intervensi kesehatan dasar dan gizi, psikososial dan pendidikan keterampilan hidup, advokasi, dan manajemen kasus. Kegiatan LAP terhadap anak dan orangtua dilaksanakan di lapangan, di rumah sakit, serta dalam berbagai acara di kampus Unika Atma Jaya Jakarta.

Acara peringatan ulangtahun LAP berlangsung sangat sederhana namun semarak. Ada pemain organ tunggal, di selingi berbagai penampilan anak-anak penyandang HIV-AIDS binaan LAP. Dua manajer kasus yang berperan sebagai pemandu acara, menyelingi pertunjukan dengan berbagai kuis berhadiah sederhana. Pertanyaan yang diajukan pun tidak rumit.

Sementara acara berlangsung, para hadirin sibuk bercengkerama satu dengan lainnya. Kesempatan itu digunakan buat saling bertukar informasi. Anak-anak para penyandang HIV-AIDS bermain satu dengan lainnya.

Kisah Tragis

Banyak kisah tentang anak-anak itu yang bisa mengundang tetesan airmata. Ada yang lahir cacat dan ditinggalkan oleh orangtuanya. Ada juga yang sudah yatim-piatu karena orangtuanya meninggal akibat penyakit yang mereka derita. Ada pula perempuan yang membawa putra tunggalnya yang cacat dan menyandang HIV akibat ketularan sang ayah. Sementara sang ayah telah pergi entah ke mana.

“Setiap malam saya harus menunggu anak saya tidur, baru bisa belanja ke pasar. Pagi-pagi, sebelum anak saya bangun, rumah saya harus sudah beres,” tutur sang ibu. Ia hanya tinggal berdua dengan putranya di wilayah Bekasi. Sehari-hari ia membuat dan berjualan kue, sambil mendorong kursi roda putranya yang punya ketergantungan kepada orang lain.

Perempuan hebat itu tetap ceria, meski beban hidup yang ditanggungnya pasti tidak ringan. Dan ia menerima hadiah satu unit televisi dari panitia HUT ke 6 LAP. Perempuan itu menjadi Juara I perawatan rumah tinggal. Saya membayangkan betapa sulitnya ia membawa hadiah itu sambil mendorong kursi roda putranya.

Sangat Tegar

Saya sungguh kagum dengan sejumlah ibu, yang tetap tegar mendampingi putra-putrinya yang menyandang HIV-AIDS. Saya juga kagum dengan semangat dan kegigihan Prof Irwanto memacu hasrat para orangtua maupun anak-anak agar tetap besar hati. Buat saya, Irwanto betul-betul pejuang yang tidak kenal menyerah.

Irwanto dengan dibantu para pegiat lainnya di LAP berusaha memperbaiki tingkat hidup anak-anak binaan mereka. Sementara Irwanto sendiri dalam keadaan lumpuh, ke mana-mana harus didorong di kursi roda. Tapi ia tetap menjadi pelindung anak-anak penyandang HIV-AIDS, menumbuhkan harapan dan semangat mereka.

[caption id="attachment_370292" align="aligncenter" width="530" caption="Tersenyum, meski harus digotong turun dan naik ke tempat acara."]

14246977862109224573

[/caption]

Saya lihat kegembiraannya melihat anak-anak itu ceria dan bermain-main. Irwanto dan kursi rodanya bertahan berjam-jam sampai acara selesai. Acara itu berlangsung di aula, yang terletak di lantai atas. Buat mencapai lantai itu, Irwanto dan kursi rodanya harus didorong oleh beberapa orang melalui tangga yang curam. Seusai acara, Irwanto dan kursi redanya harus menuruni kecuraman yang sama. “Saya harus pasrah bongkokan,” katanya sambil tersenyum sewaktu orang-orang mulai menggotong kursi rodanya.

Artinya, ia hanya bisa terima nasib. Keselamatannya, betul-betul ditentukan oleh orang-orang yang menurunkan atau menaikkan kursi redanya di tangga yang curam itu.

Korban Malpraktik

Saya masih ingat belasan tahun silam saya mengutus reporter buat menelusuri peristiwa tragis yang menimpa Irwanto, yang ketika itu menjabat Ketua Lembaga Penelitian Atmajaya di Jakarta. Irwanto terbangun 27 Juli 2003 malam karena rasa sakit yang hebat di dada sebelah kiri. Malam itu juga ia mengajak istrinya, Irene Roman, ke RS Internasional Bintaro (RSIB) dengan diantar sopir tetangga.

Kebetulan rumah lelaki kelahiran Yogyakarta tahun 1957 itu dekat dengan RSIB. Dokter jantung Chandramin Chandradir dari RSIB, keesokan harinya menyimpulkan Irwanto mengalami penyumbatan di jantung kiri depan. Istilah medisnya Microcardinal Infraction. Sang dokter memberitahu istri Irwanto, Irene Roman, bahwa Irwanto akan diberi Streptokinase (pengencer darah) agar penyumbatan bisa ditembus. Obat itu diberikan secara infus mulai pukul 13.30 siang.

Sekitar pukul 15.00 WIB sore, Irwanto merasa sakit di bagian tengkuknya dan beberapa bagian tubuhnya mengeluarkan darah. Selain itu, Irwanto tidak bisa menggerakkan bagian tubuh sebelah kanannya, dari dada hingga kaki. Irene kemudian berusaha menghubungi dokter Chandra, tapi yang datang justru seorang ahli syaraf atau neurolog. Dokter tersebut melakukan CT Scan dan hasilnya Irwanto bukan mengalami stroke.

Rabu (29/7/03) pagi, pihak RSIB membawa Irwanto ke RS Glen Eagels di Karawaci guna pemeriksaan MRI. Dari hasil pemeriksaan, diketahui ada sesuatu gumpalan massa di leher belakang Irwanto (cervikal). Irene disarankan agar segera mengizinkan suaminya dioperasi guna mengambil gumpalan tersebut. Sebagai orang awam, Irene mengikuti saran dr Chandra.

Malam sebelum operasi, hasil MRI Irwanto itu dikonsultasikan dengan Prof. Dr Padmosantjojo yang mengatakan tidak ada kelainan pada tengkuk Irwanto sehingga operasi pun dibatalkan. Lalu Irwanto pindah ke Rumah Sakit Metropolitan Medical Center (MMC), di Kuningan, Jakarta Selatan. Dengan data seadanya, pihak MMC melakukan diagnosis dan menyimpulkan Irwanto menderita CMV (Cyto Megalo Virus) atau infeksi yang disebabkan virus.

Selama dirawat di RS MMC, Irwanto tetap mengkonsumsi obat jantung dari RSIB ditambah obat virus dari MMC. Irwanto tetap lumpuh dan pencernaannya tidak berfungsi sehingga makanan menumpuk di lambung. Akibatnya, dilakukan penyedotan isi perut Irwanto melalui dubur.

Dua Belas Tahun

Pertengahan Agustus 2003, Irwanto dibawa ke RS Tan Tock Seng, Singapura. Di sana ia diperiksa lagi secara teliti dan menyeluruh. Para dokter di RS Tan Tock Seng menyatakan jantungnya normal. Dokter neurolog di Singapura menjelaskan, kelumpuhan Irwanto justru disebabkan oleh infus streptokinase padahal ia tidak menderita sakit jantung.

[caption id="attachment_370293" align="aligncenter" width="559" caption="Irwanto dan kursi rodanya harus mundur pelan-pelan menuruni tangga yang curam."]

14246978841369522280

[/caption]

Dua belas tahun kemudian, tepatnya Februari 2015, Irwanto masih juga tangguh dan bersemangat. Dalam segala keterbatasannya, ia tetap berjuang bagi orang lain. Persidangan kasusnya cukup panjang. Dan Irwanto memaafkan dokter, yang telah membuatnya lumpuh.

Ia berdamai dengan dirinya melalui pemaafan tersebut. Dan menemukan pelangi kehidupan. Mungkin itu pula yang membuatnya mendirikan Lentera Anak Pelangi. (ak) ****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline