Geliat Pejuang Harapan
Mentari belum menyapa, mungkin masih enggan bangun setelah semalam terlalu lelap menikmati suasana, hanya November yg tersenyum memandang dengan rambut basahnya sisa gerimis Oktober semalam.
Percik air wudhu masih tersisa segar diraut wajah nya, dentang piring beradu sendok berbaur lengkingan tangis bayi yg terjaga menjadi ritual wajib tiap hari, dengan sedikit sapuan tangan di kepala si anak dan mendaratkan cium di kening emaknya pun akhirnya dia harus segera tinggal landas melaju memburu mengejar harapan nya.
Sepagi ini selimut si pejuang harapan sudah terlipat rapi di ujung kasur tak berdipan, berganti baju tebal pelindung diri dari gemeratak deras angin diatas motor yg besok harus terbayar cicilannya. Melangkah pasti sambil sesekali memandang tembok mungil berpintu dan berjendela tanpa pagar, yang baru saja selesai masa pengampunan kewajiban angsuran karena tekanan pemerintah pada developer imbas pandemi.
Persawahan yg dilaluinya sedikit sombong mencibir seolah-olah dia adalah tanah sawah limited yg tersisa setelah hampir ribuan hektar beralih fungsi menjadi hunian para pejuang harapan yg memaksa diri tinggal lebih menepi daripada harus membayar kontrakan yg harganya naik tiap tahun tp fasilitas nya menurun dan kurang manusiawi.
Lebih dari sejam berlaju sang Surya sudah nakal menggoda dengan hangat nya, jalan yg hampir lebih dari setahun ini lenggang sudah mulai terlihat padat merayap, teriakan pak 'ogah' mengatur jalan bersahutan dengan klakson adalah nada2 yg sukar dimengerti.
Serudak seruduk tak ada empati, lampu merah pengatur jalan sudah tak sanggup, hanya berdiri tanpa memaki, dengan sedikit provokasi lawan arah pun terjadi, terobosan santai di sela2 truk2 peti kemas yg sebenarnya keras ( karena dibuat dari besi semua) sudah seperti roti tawar besar yg empuk untuk ditrabas.
Bangunan tingkat tanpa sekat lebih dari 4 lantai sudah dimasukinnya. garis2 lurus pengatur jarak motor seolah garis finis perjuangan nya pagi ini, berlari mengejar mesin absen sidik jari yang sebenarnya ga kemana mana, tersenyum simpul saat terdengar sapaan Selamat pagi dari 'digital voice'. bukan, bukan karena pengisi suara nya yg merdu, tetapi lebih sebuah kepastian gaji nya tidak terpotong karena terlambat datang bulan ini.
Bersambung...
#BekasiawalNovember
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H