Lihat ke Halaman Asli

ONY RENALDY

Mahasiswa

Kerentanan Konflik Berbasis Gender Terhadap Individu Yang Mengalami Disabilitas

Diperbarui: 18 Juni 2024   09:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi penyandang disabilitas perempuan. Foto: Designed by Freepik Input sumber gambar

Konflik berbasis gender merupakan masalah yang kompleks dan berlapis, seringkali melibatkan berbagai bentuk diskriminasi dan ketidakadilan yang dialami oleh individu berdasarkan jenis kelamin mereka. Ketika berbicara tentang individu dengan disabilitas, kerentanan terhadap konflik berbasis gender menjadi lebih kompleks dan sering kali lebih mendalam. Individu dengan disabilitas, terutama perempuan berada pada posisi yang sangat rentan terhadap kekerasan, diskriminasi, dan marginalisasi.

Selain itu, hambatan terhadap aksesibilitas menjadi salah satu masalah utama dalam hal ini, seperti lingkungan atau tempat umum yang tidak ramah disabilitas atau kebijakan yang masih belum inklusif semakin memperburuk kerentanan ini. Oleh karena itu, memahami dan mengatasi kerentanan konflik berbasis gender terhadap individu yang mengalami disabilitas memerlukan pendekatan yang lebih komprehensif dan inklusif, yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan dari pemerintah hingga komunitas lokal.

Kerentanan Konflik Ganda: Gender dan Disabilitas

Individu dengan disabilitas menghadapi berbagai tantangan yang diperparah oleh konflik berbasis gender. Mereka sering kali mengalami diskriminasi ganda, seperti jenis kelamin dan kondisi disabilitas yang mereka miliki. Seperti contoh pada kasus pemerkosaan perempuan disabilitas yang terjadi di lumajang(Miftahul Huda 2024), Perempuan yang menjadi korban malah disalahkan dan dituduh bahwa korbanlah yang menyetujui terjadinya aksi bejat tersebut, tetapi yang sebenarnya terjadi korban telah diancam dan akan dibunuh jika berani melapor.

Dalam hal ini, Perempuan dengan kondisi disabilitas merupakan individu yang lebih rentan terhadap segala bentuk kekerasan seperti kekerasan seksual, dan pelecehan dibandingkan dengan perempuan tanpa disabilitas. Kekerasan ini sering kali terjadi karena pelaku menganggap mereka sebagai target yang mudah, yang memiliki lebih sedikit kemampuan untuk melawan atau mencari bantuan. Oleh karena itu, Perempuan dengan kondisi disabilitas menjadi sangat rentan terhadap konflik yang disebabkan oleh gender yang mereka miliki dan ditambah kondisi disabilitas yang menghambat mereka untuk mendapatkan keadilan.

Wanita dengan disabilitas seringkali menghadapi hambatan yang cukup besar dalam mendapatkan keadilan, yang diperburuk oleh diskriminasi ganda berdasarkan gender dan kondisi fisik mereka. Stigma sosial dan diskriminasi institusional juga memainkan peran besar. Banyak wanita dengan disabilitas merasa enggan melaporkan kejahatan atau mencari bantuan hukum karena takut dipermalukan atau tidak dipercaya. Sistem hukum yang tidak inklusif, ditambah dengan layanan dukungan yang terbatas, semakin mempersempit akses mereka terhadap keadilan. Oleh karena itu perlu reformasi sistem hukum yang lebih inklusif untuk mendukung kebutuhan khusus wanita yang mengalami kondisi disabilitas.

Keterbatasan Hukum dan Kebijakan Bagi Kaum Difabel

Banyak negara yang masih belum memiliki kebijakan yang memadai untuk melindungi hak-hak individu dengan kondisi disabilitas, terutama dalam konteks kerentanan konflik. Kurangnya perlindungan hukum dan kebijakan inklusif, berarti bahwa individu dengan disabilitas sering kali tidak memiliki jaminan perlindungan yang sama seperti individu lainnya. Misalnya, undang-undang yang ada mungkin tidak mempertimbangkan kebutuhan khusus mereka, atau tidak ada mekanisme untuk memastikan bahwa bantuan kemanusiaan dapat diakses oleh semua individu tanpa diskriminasi.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas seharusnya menjadi landasan hukum yang kuat untuk melindungi hak-hak kaum difabel(Ardi dan Meidasari 2020). Namun, dalam prakteknya, banyak ketentuan dalam undang-undang ini yang belum dijalankan dengan efektif. Misalnya, diskriminasi di tempat kerja, karena masih banyak perusahaan yang enggan mempekerjakan penyandang disabilitas. terutama pada penyandang disabilitas perempuan yang seringkali dianggap lebih lemah dari laki-laki.

Selain itu, kaum difabel yang menjadi korban kekerasan seksual sangat membutuhkan perlindungan hukum baik melalui peradilan ataupun kepedulian sosial, karena banyak dari mereka yang tidak mendapatkan perlindungan hukum(Febrianti 2020). Hal ini yang membuat mereka lebih rentan terhadap kekerasan seksual maupun diskriminasi dari lingkungan sekitar. Oleh karena itu, diperlukan upaya serius untuk meningkatkan perlindungan hukum dan dukungan sosial bagi penyandang disabilitas yang menjadi korban kekerasan seksual, agar hak-hak mereka terlindungi dan terpenuhi.

Pandangan Sosial Model Dalam Melihat Kerentanan Konflik Terhadap Disabilitas

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline