Lihat ke Halaman Asli

Ony Jamhari

TERVERIFIKASI

Sinergi Positif antara Pendidikan Tinggi, Pemerintah, dan Dunia Industri

Diperbarui: 24 Juni 2015   16:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Februari 2013 menjadi bulan yang istimewa bagi saya. Kali ini saya pergi bersama dua rombongan mahasiswa Universitas Woosong, Daejeon, Korea Selatan ke Indonesia untuk melaksanakan dua program yang telah disusun oleh pihak kampus. Rombongan pertama adalah siswa yang ikut dalam program Asian Market Research. Program ini bertujuan untuk memperkenalkan siswa lebih jauh tentang Indonesia, khususnya bagaimana perusahaan-perusahaan Indonesia dan Korea melakukan bisnisnya di Indonesia. Selama seminggu berada di Indonesia kami berkunjung ke empat kota yaitu Jakarta, Bogor, Bandung, dan Jogjakarta. Kami mengunjungi beberapa perusahaan seperti LG Electronics di Jakarta, PT Telkom di Bandung, dan juga Batik Margaria di Jogjakarta.

Program yang kedua adalah Woosong Global Volunteer Program yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana kehidupan nyata masyarakat Indonesia. Dalam program ini kami terlibat dalam dua kegiatan: fisik dan non fisik. Kegiatan fisik antara lain membuat pupuk organik, pengelolaan sampah dan penanaman pohon. Sedangkan program non fisik meliputi pengenalan budaya Korea seperti bahasa, masakan korea, pakaian tradisional korea “Hanbok”, Taekwondo, dan lain-lain kepada masyarakat setempat. Kegiatan ini berlangsung selama seminggu dan seluruh mahasiswa tinggal di rumah-rumah penduduk di desa Tirtoadi Sleman, Jogjakarta.

Walaupun kedua program tersebut tujuannya berbeda, tetapi ada satu benang merah yang dapat ditarik yaitu bahwa pihak kampus ingin memberikan kesempatan mahasiswa untuk mengenalkan langsung negara lain dan belajar sesuatu dari negara tersebut. Saat ini jika Anda bertanya kepada siswa Korea, setelah lulus kuliah kalian ingin berkerja di mana? Biasanya mereka akan menjawab Samsung, LG, Hyundai, atau perusahaan besar Korea yang lain. Namun demikian, saat ini ketika akses kerja sama dibuka secara lebar, maka kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan dengan beragam jenisnya terbuka lebar juga.

Tantangannya adalah banyak orang yang tidak tahu mengenai hal ini. Mereka seakan terpaku bahwa bekerja di perusahaan-perusahaan besar adalah harga mati. Oleh sebab itu, segala upaya dipersiapkan oleh siswa-siswi Korea untuk dapat bekerja di perusahaan-perusahaan tersebut baik itu dengan mengasah kemampuan hard skill:ilmu yang dipelajarinya maupun soft skill:kemampuan lainnya seperti menjalin hubungan dengan orang lain, bahasa Inggris, komputer, serta kepemimpinan. Sebagai seorang warga negara asing yang bekerja di Korea saya dapat merasakan persaingan yang sangat nyata di sini. Siapa yang tidak mempunyai kinerja bagus, perusahaan atau organisasi akan tidak segan-segan memecatnya.

Berbicara mengenai menyelaraskan dunia pendidikan dan dunia kerja memang tidak mudah. Ilmu yang kita pelajari di sekolah terkadang berbeda dengan pekerjaan yang kita dapat, terkecuali bagi mereka yang ingin bekerja sebagai kaum profesional seperti menjadi akuntan, dokter, dan sebagainya. Ketika kuliah di jurusan Pendidikan Bahasa Inggris di sebuah kampus di Jogjakarta, saya sangat ingin menjadi guru atau dosen bahasa Inggris sesudah saya lulus. Namun demikian, cita-cita saya berubah total ketika saya mengikuti program pertukaran pemuda Indonesia dan Australia pada tahun 2010-2011 di Australia.

Waktu itu kebetulan saya menjadi Group Leader rombongan dari Indonesia. Saya sering memberikan pidato di banyak forum dalam program tersebut. Jujur saja tidak mudah membangun kepercayaan diri berbicara di depan orang lain ketika itu. Tetapi saya mantapkan niat karena ini adalah kesempatan langka untuk mengasah kemampuan public speaking maka saya harus berani untuk berbicara di depan umum. Karena sering berpidato teman-teman di dalam kelompok sering memanggil saya jubir alias juru bicara.

Sesudah mengikuti program tersebut, saya ingin menjadi juru bicara presiden Indonesia atau bekerja sebagai wartawan. Hal ini tidak lain adalah karena pengalaman yang berbeda yang saya dapatkan dalam program tersebut. Berbeda dengan saat ini, banyak mahasiswa yang ingin lulus dengan cepat dan langsung bekerja. Mereka sering kali mengabaikan faktor-faktor seperti mengikuti program-program di luar kampus mereka. Mereka cenderung hanya mengasah hard skillnya tetapi tidak mengembangkan soft skillnya. Kemampuan-kemampuan soft skill biasanya didapat ketika mahasiswa tersebut aktif di organisasi. Bagaimana mereka bekerja sama dengan tim, menyelesaikan sebuah masalah dan juga punya inisiatif dibangun di luar sekolah. Semua ini perlu kerja keras dan juga mengatur waktu yang baik.

Saat ini saya bekerja di sebuah sekolah bisnis di Korea Selatan, tepatnya di SolBridge International School Business, Universitas Woosong, Daejeon, Korea Selatan. Sekolah ini sangat unik di Korea dan merupakan satu inovasi pendidikan tinggi di Korea Selatan. Sekolah baru ini mengangkat tema keanekaragaman “diversity” dimana bahasa pengantar 100% bahasa Inggris, muridnya 80% bukan orang Korea, dan dosennya juga 80% bukan berasal di Korea. Pada awalnya saya tidak begitu pahammengapa pihak Woosong Educational Foundation membuat sekolah ini. Sesudah beberapa lama saya terlibat di dalamnya saya mulai paham pentingnya keanekaragaman khususnya dalam kondisi saat ini. Dunia menjadi semakin kecil dan persaingan semakin berat.

Dalam beberapa tahun ke depan akan lebih banyak lagi perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan orang dari berbagai macam negara. Saat ini saya bekerja dengan satu tim yang beranggotakan delapan orang dari negara berbeda. Awalnya terasa aneh, karena biasanya saya hanya bekerja dengan orang dari dua atau tiga negara. Tetapi itulah tuntutan saat ini bahwa diversity menjadi sangat penting. Dalam sebuah group project di SolBridge, seorang mahasiswa mengatakan dia tidak senang bekerja dengan orang dari negara X karena mereka malas. Saya pun menjawab bahwa nanti kalau kalian bekerja di dunia nyata khususnya dalam bidang bisnis maka kalian akan menghadapi hal seperti ini. Mereka sudah dihadapkan dalam suasana seperti sejak mereka kuliah.

Kembali dengan isu bagaimana membuat pendidikan bisa selaras dengan dunia kerja, kuncinya menurut saya adalah mengabungkan sinergi positif antara pendidikan tinggi, industri, dan pemerintah. Pendidikan tinggi harus serius menjalankan visi, misi, dan tujuan pendidikan itu sendiri. Posisikan lembaga pendidikan itu pada “statusnya”. Ambil contoh, di Indonesia banyak sekali universitas yang mempunyai program internasional dan menyebut universitasnya berkelas internasional. Tidak tanggung-tanggung mereka juga mengklaim bahwa lulusannya bisa diserap dan bekerja di perusahaan-perusahaan di seluruh dunia.

Kadang-kadang saya masih bertanya apakah benar seperti itu? Ternyata kebanyakan program internasional di Indonesia hanya mengunakan bahasa Inggris tetapi lingkungannya tidak dibentuk. Siswa, dosen, dan fasilitas belum seperti yang diharapkan. Karena Indonesia sangat luas dan beragam saya lebih suka jika universitas Indonesia mengembangkan keanekaragaman Indonesia itu sendiri. Pada tahun 2002-2003, saya sempat bekerja di sebuah perusahaan tambang Amerika di Papua dan mempunyai banyak murid dari berbagai kota dari Indonesia. Departemen saya harus melakukan pelatihan khusus mengenai cross cultural understanding. Ternyata banyak pekerja yang tidak tahu mengenai budaya Indonesia itu sendiri karena di universitas mereka tidak pernah bergaul dengan siswa dari kota lain. Jadi bagaimana kita bisa menjadi global jika kita tidak tahu budaya kita sendiri.

Oleh sebab itu, kurikulum pendidikan tinggi di Indonesia dapat memasukkan unsur-unsur soft skill seperti cross cultural understanding ke dalamnya. Jika memang ada dana ada baiknya jika mahasiswa ini ketika kuliah diajak juga berkunjung ke beberapa daerah di Indonesia yang sangat luas. Wawasan mereka akan terbuka.

Program soft skill di universitas ini tentunya juga harus didukung oleh pemerintah sebagai pembuat kebijakan. Dua kegiatan saya di Indonesia Asian Market Research Project dan juga Woosong Global Volunteer Program murni dua-duanya dibiayai oleh pemerintah Korea Selatan melalui proyek pendidikan yaitu ACE: Advancement College of Education and LINC: Leaders in INdustry-university Cooperation. Ini yang membuat saya ‘iri” karena pemerintah Korea benar-benar serius menyiapkan semuanya dengan baik. Saya percaya bahwa dana pendidikan di Indonesia itu ada di Indonesia tetapi mungkin hanya pengelolaannya yang selama ini belum maksimal.

Sesudah dukungan dari pemerintah ada, dan universitas punya program yang bagus, mereka harus dituntut untuk mengenalkan kepada industri. Caranya adalah melalui partnership atau kerja sama. Memang tidak mudah untuk membuat kerja sama dengan industri, tetapi tidak ada salahnya mahasiswa ini diajak mengunjungi perusahaan atau industri sesuai dengan keilmuannya. Hal ini akan membuka wawasan mereka bagaimana mereka akan bekerja sesudah lulus. Akan lebih baik jika nantinya industri tersebut dapat memberikan kesempatan magang kepada siswa mereka.

Di Korea sendiri saat ini banyak tuntutan bahwa sekolah harus bekerja sama dengan industri. Di kampus saya ada dua program yang sangat menarik: CEO Mentoring dan CAC Program. Para CEO dari beberapa perusahaan Korea yang sudah dipilih kampus menjadi mentor bagi beberapa siswa yang akan lulus. Tujuannya adalah siswa dapat lebih mengetahui bagaimana budaya bekerja di perusahaan-perusahaan tersebut. Sedangkan CAC adalah Corporate Advisory Council yang beranggotakan beberapa eksekutif dari beberapa perusahaan yang sudah dipilih. Setiap semester mereka memberikan masukan kepada universitas mengenai hal-hal yang perlu disiapkan oleh mahasiswa di lingkungan perusahaan mereka. Masukan dari mereka berguna untuk menyelaraskan kurikulum dengan kebutuhan industri.

Dari beberapa contoh di atas, kita dapat simpulkan bahwa kerja sama yang baik antara universitas, pemerintah, dan industri harus terus ditingkatkan. Saat ini saya melihat bahwa koordinasi antara ketiga pihak ini masih kurang di Indonesia. Jangan pernah lagi kita bicara mengenai dana: tetapi kita harus berpikir kreatif dan inovatif. Mengutip salah satu taqline perusahaan di Korea resources is limited but creativity is unlimited. Indonesia dengan segala kekayaannya akan benar-benar menjadi besar dan dapat mengalahkan negara lain jika semua pihak mau bekerja sama dengan baik.

Daejeon, Awal Musim Semi di Korea, 17 Maret 2012.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline