Lihat ke Halaman Asli

Ony Edyawaty

pembaca apa saja

Pemahaman Baru tentang Pesona Pare Pahit

Diperbarui: 13 Maret 2024   22:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tumis pare pahit tapi nikmat/dok. pri

     Sudah lama sekali sejak memasak menjadi salah satu katup pelepasan emosi negatif saya.  Ketika perasaan galau tak tentu melanda, dapur selalu menjadi tempat yang paling pengertian.  Seseorang yang paling bahagia dengan kondisi saya tentu adalah suami.  Pertama, hidupnya jauh lebih ringan karena memiliki istri yang ahli mengatur kehidupan emosionalnya, kedua tentu perutnya yang semakin padat karena bahagia menjadi kelinci percobaan masakan-masakan galau saya.  Katanya dia sampai bisa mengenali kompleksitas perasaan saya lewat cecap rasa masakan. Kalau sedang marah atau bingung, masakan saya malah jauh lebih enak.  Mungkin karena saya berusaha melarikan diri dengan mengubah fokus pikiran ke dalam takaran-takaran bumbu.  

     Hari ini tentu saja terasa tidak karuan buat saya.  Pasalnya semua berjalan tidak sesuai harapan, urusan kerja di kantor, keuangan keluarga dan seseorang yang entah mengapa menampilkan sikap kurang mengenakkan.  Saya memilih untuk membiarkan hari baru menggerus semua dan menutup lembaran rasa dengan memasak.  Namun selepas tanggal sepuluh menuju belasan ke duapuluh, pegawai negeri dengan gaji golongan tiga dan cicilan bank tentu tidak bisa memasak sesuatu yang fancy dan mahal.  Jadi saya coba melongok warung sayuran di perjalanan pulang dan mencoba melihat apa yang bisa saya dapatkan.  

     Pandangan saya tertumbuk pada sebentuk buah yang kerap disapa sayur oleh para ibu.  Nasibnya serupa tomat yang kerap salah diinterpretasikan sebagai sayur, padahal tomat adalah buah.  Warnanya hijau tua yang elegan dengan tekstur bertonjolan memanjang bagaikan bubble wrap paket skincare yang biasa saya pecah-pecahkan kalau sedang gabut.  Dialah pare, sang buah pahit yang dahulu sering dimasak oleh keluarga besar saya, bulik dan budhe.  Ibu saya tidak pandai masak, namun dia dengan senang hati akan mengunyah apapun yang dimasak oleh kakak-kakaknya saat kumpul keluarga.  Pare adalah favorit di kalangan pakdhe dan budhe, juga ibu dan bapak saya, namun saya paling tidak suka.  Segigit saya mencicipi, saya langsung trauma oleh pahitnya.  

     Berhubung kegalauan saya yang semakin tidak karuan, saya akhirnya mengambil delapan buah pare yang besar, sekantong kecil ebi dan satu ons cabe merah.  Saya hanya ingat, sering melihat budhe dahulu memasukkan komposisi ini, meremas pare yang telah dipotong-potong dalam baskom bersama sedikit garam dan memerasnya.  Katanya supaya tidak pahit.  Namun saya tetap merasakan kepahitan saat mencoba olahan pare tersebut.  Jadi setiba di rumah, saya coba saja memotong-motong pare dengan tebal sekitar dua sentimeter, seperti membuat tumis tahu.  Biar saja masih pahit, saya mau merasakan kepahitan seperti dahulu.

     Saat selesai memotong, saya memperkirakan pare ini akan tetap pahit karena ketebalannya tidak seperti yang diajarkan budhe waktu membuat tumis pare.  Dengan setengah malas, saya asal memberi garam dan tidak saya remas-remas.  Hanya saya tutup saja dan diaduk sebentar memakai sendok.  Saya mau tahu sepahit apa pare itu nanti.  Saya mau yang pahit, sekalian berniat mengerjai suami saya saat jam makan malam tiba.  Jadi, setelah bumbu iris saya siapkan, saya cuci sebentar pare, kemudian dicemplung-cemplungkan semuanya dan ditambah bumbu penyedap seikhlasnya sampai layu, saya angkat dengan kepulan asap yang banyak.  

     Saya menumis dengan bumbu minimalis dan menyiapkan lauk tambahan untuk berjaga jika rasanya nanti tidak layak menjadi makanan manusia.  Saya siapkan tempe goreng yang asal matang saja.  Sebakul nasi panas dan setumpuk rasa enggan makan karena pasti rasanya pahit dan tidak enak.  Saya memanggil suami untuk bergabung dan tidak disangka, dia makan sampai kesulitan berkomentar.  Katanya tumis pare bikinan saya seperti hadiah dari surga.

     Saya penasaran dan mencoba menciduk sesendok sayur dan nasi.  Di luar dugaan, saya pun kaget.  Mengapa sayur pare pahit yang sempat membuat saya trauma tidak mau memakannya selama hampir dua puluh tahun, sekarang terasa begitu nikmat.  Sensasi pahitnya seperti mengelus lidah dan memberi pencerahan baru tentang makna rasa kompleks.  Seperti kehidupan yang sudah lama berjalan, penderitaan dan kepahitan menjadi sesuatu yang biasa dan tidak ada bedanya dengan rasa manis, asam, atau asin.  Didalam rasa pahitnya, terdapat suatu dialog bahwa kepahitan yang bertemu dengan aneka rasa lain adalah sesuatu yang membentuk kenikmatan.  Bagaikan lukisan abstrak maka kepahitan adalah bingkai yang menyatukan komposisi warna menjadi tampak anggun tergantung di dinding rumah orang kaya.  Pare pahit itu, datang kepada saya dan mengajarkan sesuatu yang nikmat setelah puluhan tahun berlalu.

     Tentu saja saya merasakan sedang diajari oleh pare tentang kehidupan ini.  Kepedihan dan rasa sakit, hanyalah masalah kebiasaan dan persepsi.  Hal yang terasa pahit di masa sekarang, bisa jadi akan terasa manis pada masa yang lain.  Teringat pada suatu pepatah yang masyhur, "Kita tidak akan tahu karakter seseorang sampai kita berurusan soal uang dengan dirinya ", maka pare dalam analogi saya adalah : " Kita tidak akan tua, sebelum kita tahu pahitnya pare sebagai suatu rasa kenikmatan yang tiada tara ".  Hidup akan sempurna jika kita mampu melihat sisi kepahitan hidup sebagai manisnya pembelajaran.  Demikian, dan semoga pahitnya hidup tidak akan membuat kita ikut-ikutan menjadi pahit.  Saat itulah saya langsung tahu bahwa ternyata saya sudah tua. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline