Lihat ke Halaman Asli

Ony Edyawaty

pembaca apa saja

Pembelajaran "Self Dignity" ala Orangtua Saya

Diperbarui: 6 Mei 2021   13:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pembelajaran self dignity ala orangtua saya (Sumber: pexels.com)

Harga diri (dignity) mungkin sudah menjadi benda yang langka di zaman sekarang. Begitu banyak kelakuan orang-orang yang dengan mudah melepaskan kehormatannya, rela dibeli untuk melakukan hal-hal yang kurang terpuji, termasuk dalam hubungan pertemanan.

Sekarang, asalkan kita punya segepok uang, teman akan mudah kita dapatkan. Pola pikir memanfaatkan dan "mumpungisme" memang merebak di mana-mana.

Tentu saja masih ada orang yang menjunjung tinggi harga dirinya. Menjaga agar tidak meminta-minta atau melacurkan diri. Namun yang seperti ini tentu sekarang sudah sangat jarang. Bahkan sikap bermartabat dengan tidak mau menggantungkan diri dari pemberian atau selalu menjunjung tinggi kejujuran, sekarang malah dicap sebagai sikap sok suci, munafik dan hipokrit. Sesuatu yang benar, distempel menjadi salah, sebaliknya yang salah malah dibenarkan hanya karena banyaknya pelaku yang mempraktekannya.

Semua hal yang membentuk karakter seseorang dalam menjalani kehidupannya tentu tidak bisa dilepaskan dari didikan orangtua di rumah. 

Sebagai sekolah pertama dan utama bagi seorang anak, orangtua bagaikan perpustakaan hidup yang menjadi tempat seseorang mengambil berbagai rujukan. Bukan hanya pada fase-fase awal kehidupannya, namun hingga si anak telah menjadi orangtua sekalipun. 

Harga diri yang diajarkan oleh orangtua bisa saja kuat atau lemah, tergantung dari karakteristik dasar dan latar belakang pendidikannya. Namun pada beberapa kasus, para orangtua dengan latar belakang cukup mampu dan tingkat pendidikan yang tinggi justru kerap luput mengajarkan konsep harga diri pada anak-anak mereka. Dengan tanpa malu-malu mereka memberikan teladan bahwa untuk mendapatkan apapun, bisa dengan jalan pintas, menyuap atau memberikan sejumlah uang, misalnya saat masuk ke sekolah favorit atau membuat SIM.

Pada banyak kasus, saya mendapatkan pengalaman bahwa keluarga kurang mampu dengan latar belakang pendidikan minimal, malah jauh lebih berhasil menanamkan tumbuhnya sikap harga diri pada anak-anaknya. Bisa jadi hanya dengan sikap konsisten dan bermartabat sebagaimana konsep manusia seutuhnyalah, yang membuat segala kekurangan hidup tidak dirasakan sebagai hal yang mempermalukan.

Pendidikan harga diri yang didapatkan pada saat saya kanak-kanak dahulu sebenarnya sederhana. Meskipun demikian, justru makna dan rasanya tertancap kuat hingga sekarang. Kedua orangtua saya selalu mengajarkan beberapa hal yang penting bagi saya selaku anak-anak.

"Jika kamu sedang bermain ke rumah teman, jangan menerima ajakan keluarganya untuk makan. Pulanglah pada jam-jam makan dan istirahat."

Mungkin terdengar ekstrim, namun itulah yang terjadi. Sejak kecil, saya diajarkan tidak boleh menerima pemberian makanan atau apapun dari orang lain pada saat bermain ke rumahnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline