Lihat ke Halaman Asli

Pulau Rambut: habitat burung air yang terancam

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Pulau Rambut: habitat burung air yang terancam

 

 

Sejarah Kawasan

                Pulau Rambut merupakan salah satu pulau dari 108 pulau yang menyusun Kepulauan Seribu yang terletak di Teluk Jakarta. Secara geografis, pulau ini berada di antara 106,5 o 41’ 30” BT dan 5,5 o 57’ LS. Berdasarkan administrasi pemerintahan, kawasan ini termasuk ke dalam wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta.

                Pulau Rambut pertama kali diusulkan sebagai kawasan konservasi disampaikan oleh Direktur Kebun Raya Bogor kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Jakarta.  Alasan yang paling penting adalah untuk melindungi berbagai jenis burung air yang banyak terdapat di pulau tersebut. Menindaklanjuti usulan tersebut, pada tahun 1937 Pulau Rambut ditetapkan secara resmi sebagai cagar alam melalui Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda No. 7 tanggal 3 Mei 1937.  Selanjutnya keputusan tersebut dibuat dalam Lembaran Negara (Staadblat) No. 245 tahun 1939.  Kemudian pelaksanaannya diatur dalam peraturan (Ordonansi) Perlindungan Alam tahun 1941 yang dimuat dalam Lembaran Negara No. 167 tahun 194 Pada saat penetapan Pulau Rambut sebagai cagar alam pada tahun 1937 tersebut luasnya dinyatakan sebesar 20 ha. 

                Dalam perkembangannya, kondisi dan potensi Pulau Rambut terus berubah.  Berdasarkan hasil studi PPKHT IPB (1997) diketahui bahwa sebagian besar vegetasi mangrove mengalami kematian akibat pencemaran sampah dan minyak.  Selain itu, akibat tercemarnya habitat mangrove oleh sampah dan minyak juga menyebabkan terhambatnya regenerasi tumbuhan mangrove.  Oleh karena dalam suatu kawasan cagar alam tidak dibenarkan adanya campur tangan manusia dalam kegiatan pembinaan habitat di dalam kawasan, maka diusulkan dan direkomendasikan agar status Pulau Rambut dari cagar alam diubah menjadi suaka margasatwa.

                Menyambut rekomendasi tersebut dan juga dalam rangka menyelamatkan kondisi dan potensi Pulau Rambut, maka pemerintah melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 275/Kpts-II/1999 tertanggal 7 Mei 1999 memutuskan untuk merubah status Pulau Rambut dari cagar alam menjadi suaka margasatwa dengan luas 90 ha yang terdiri atas sekitar 45 ha daratan dan 45 ha perairan.

 

Burung-burung di Pulau Rambut dan Habitatnya

 

                Secara alami, kawasan Pulau Rambut merupakan habitat berbagai satwa, terutama burung-burung air (merandai) dan tempat persinggahan burung-burung migran.  Berdasarkan berbagai hasil pengamatan, Pulau Rambut memiliki keanekaragaman jenis burung yang tinggi, dimana sudah tercatat 56 jenis burung yang dijumpai di pulau ini. Secara umum, burung-burung tersebut terdiri dari 2 kelompok, yaitu kelompok burung air (18 jenis) dan kelompok bukan burung air (38 jenis).

                Jumlah dan komposisi burung yang dijumpai di Pulau Rambut dari waktu ke waktu bisa saja berbeda karena dinamika habitat, perilaku dan perkembangan berbagai jenis burung tersebut.  Sebagai contoh misalnya, Suwelo (1973) dalam Fakultas Kehutanan IPB (2002) menjumpai 49 jenis burung di Pulau Rambut yang terdiri dari 16 jenis burung air dan 33 jenis  bukan burung air. Sedangkan Mardiastuti (1992) melaporkan bahwa terdapat 15 jenis burung air di Pulau Rambut. Lebih lanjut Mardiastuti (1992) menjelaskan bahwa dari 15 jenis burung air yang dijumpai tersebut, famili Heron (Ardeidae) dan Cormorant (Phalacrocoracidae) merupakan famili yang memiliki populasi terbesar. Jenis yang lainnya termasuk ke dalam family Darter (Anhingidae), Stork (Ciconiidae) dan Ibises (Threskiornithidae).

                Pulau Rambut memiliki kelebihan yang sangat menonjol sebagai tempat berbiak burung-burung air terbesar di Jawa Barat dan sekitarnya. Hutan campuran merupakan habitat burung di Pulau Rambut yang berfungsi sebagai tempat sarang, tempat kawin, tempat berkembangbiak, tempat membesarkan anak, tempat berlindung dari ancaman predator, dan tempat beristirahat. Mardiastuti (1992) melaporkan bahwa habitat burung di Pulau Rambut terdiri dari hutan mangrove primer, hutan mangrove sekunder dan hutan dataran kering campuran.

                Hutan pantai merupakan habitat yang berfungsi sebagai tempat beristirahat burung pemakan biji dan serangga, seperti tekukur, kucica dan kepodang. Hutan pantai yang didominasi oleh pohon kepuh dan kedoya yang berbatasan dengan hutan mangrove merupakan habitat yang berfungsi sebagai tempat bersarang dan tempat membesarkan anak serta tempat beristirahat.  Sulistiani (1991) menyatakan bahwa Egretta garzetta membuat sarang di hutan magrove terutama pada pohon Rhizophora sp. dan Ceriops tagal. Ayat (2002) menemukan bahwa pohon yang dijadikan sebagai tempat bersarang adalah Sterculia foetida, R. mucronata, Ficus timorensis dan Excoecaria agallocha.  Karakteristik jenis pohon sebagai inang berupa pohon masih hidup dan jenis emergent, kecuali pada tipe hutan mangrove yang memiliki tajuk yang tidak berhubungan dengan tajuk pohon di sekitarnya dan berukuran lebar, tinggi pohon > 11 meter dan diameter sekitar 66,6 cm. Sebelumnya, Imanuddin (1999) juga menemukan bahwa Myctenia cinerea bersarang pada Sterculia foetida, Manilkara kauki dan Xylocarpus granatum dengan tinggi pohon > 6 meter dan penutupan tajuk > 25,9 meter persegi. 

                Habitat kelompok bukan burung air di Pulau Rambut adalah hutan campuran, hutan pantai, dan hutan mangrove sekunder yang digunakan sebagai tempat bersarang dan tempat berlindung. Di hutan mangrove primer tidak ditemukan jenis bukan burung air. Di habitat hutan pantai, jumlah individu burung ditemukan paling banyak. Hal ini disebabkan di hutan pantai terdapat banyak pohon yang digunakan sebagai tempat bersarang dan tempat berlindung (Departemen Kehutanan,1994).

                Kartawinata dan Waluyo (1977) membagi hutan payau di Cagar Alam Pulau Rambut menjadi 3 komunitas utama. Komunitas tersebut, yaitu  (a) komunitas Scyphiphora-Pempis acidula yang dihuni oleh cangak merah, kuntul besar, kuntul kerbau, (b) komunitas Rhizophora mucronata yang dihuni oleh pecuk ular, cangak merah, roko-roko dan kowak maling,     (c) komunitas Rhizophora mucronata yang dihuni oleh kuntul kerbau, pecuk besar, pecuk kecil, kuntul perak, kuntul kecil dan kowak maling. Mahmud (1991) mengatakan bahwa habitat burung air di Pulau Rambut terdiri dari hutan campuran dan hutan payau yang terbagi ke dalam hutan payau primer dan sekunder. Di hutan pantai (Sterculia-Dysoxylum) dihuni oleh cangak abu, pecuk ular, bluwok dan kowak maling. Di hutan payau primer yang didominasi Rhizophora mucronata dihuni oleh pecuk, roko-roko, pelatuk besi, kowak maling, kuntul kecil, kuntul kerbau dan cangak abu. Hutan payau sekunder (Ceriops-Xylocarpus-Scyphiphora) dihuni oleh cangak merah, kuntul besar, kuntul kecil, kuntul sedang dan kowak maling.

 

Ancaman Kelestarian Habitat Burung di Pulau Rambut

                Masalah utama yang berdampak langsung terhadap kelestarian habitat burung di Pulau Rambut adalah berkurangnya luasan areal berhutan karena abrasi, pencemaran akibat sampah dan limbah buangan. Hasil pengukuran luas berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG) yang dilakukan Fitriana (1999) dan Fakultas Kehutanan IPB (2002) menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan luas yang cukup signifikan dalam kurun waktu 13 tahun (tahun 1989 sampai 2002) terakhir ini, seperti terlihat pada Gambar 1.

                Faktor utama penyebab terjadinya pengurangan luas tersebut berdasarkan hasil pengamatan Fakultas Kehutanan IPB adalah abrasi. Selain berdampak terhadap berkurangnya luas Pulau Rambut abrasi juga menyebabkan kematian dan berkurangnya luasan areal bervegetasi (hutan mangrove dan hutan pantai). Dari data di atas terlihat bahwa laju abrasi dalam kurun waktu 13 tahun terakhir rata-rata seluas 0,72 ha th-1,  atau rata-rata terjadi pengikisan garis pantai sejauh 6,04 m th-1.

Pencemaran akibat sampah dan limbah buangan merupakan salah satu ancaman serius bagi kelestarian Pulau Rambut.  Saat ini kawasan Pulau Rambut telah mengalami invasi sampah yang cukup berat terutama sampah-sampah yang tidak bisa terurai (non-degradable), seperti plastik, styrofoam, sandal/karet, kaca dan kaleng. Hartawan (1991) memperkirakan bahwa sampah padat di Pulau Rambut berkisar antara 1,95 – 4,26 ton. Sedangkan berdasarkan hasil studi Fakultas Kehutanan IPB (2002) diketahui bahwa berat sampah di Pulau Rambut mencapai 23,83 ton. Dengan demikian dalam kurun waktu 11 tahun, yakni dari tahun 1991 sampai 2002, telah terjadi peningkatan jumlah sampah sebesar 5,6 sampai 12,2 kali lipat.

                Dampak utama pencemaran sampah, terutama sampah non degradable adalah matinya vegetasi melalui 2 mekanisme, yaitu (1) mati setelah tertimbun sampah, dan (2) mati setelah siklus keluar masuknya air pasang surut terus-menerus terganggu. Tumpukan sampah akan mempengaruhi aliran keluar masuknya air pasang surut. Padahal pasang surut merupakan faktor lingkungan penting bagi pertumbuhan mangrove (Hutchings & Saenger, 1987; Aksornkoae, 1993; Kusmana, 2002).

Akibat terganggunya aliran keluar masuknya pasang surut tersebut adalah (a) terganggunya pasokan hara bagi vegetasi mangrove, karena hara di hutan mangrove sebagian masuk melalui pasang surut, dan (b) terganggunya keseimbangan kadar salinitas substrat, karena aliran pasang surut antara lain berfungsi dalam menjaga keseimbangan kadar salinitas substrat. Pada saat setelah pasang besar, sebagian air pasang terjebak di lantai hutan, tidak bisa keluar, karena terhalang tumpukan sampah. Air yang terus menggenangi lantai hutan tersebut akan mengganggu pasokan oksigen ke akar, sehingga proses respirasi terganggu karena kondisinya terus-menerus anaerob. Suhu air yang tergenang tersebut juga akan meningkat seiring dengan meningkatnya panas matahari yang diterimanya. Fakultas Kehutanan IPB (2002) melaporkan bahwa pada siang hari, suhu air di lantai hutan yang tergenang air bisa mencapai 45oC yang dapat menyebabkan kematian vegetasi mangrove, terutama anakan mangrove. Kondisi ini sangat mengkawatirkan bagi kelestarian habitat dan kenyamanan pengunjung Suaka Margasatwa Pulau Rambut.

Selain abrasi dan pencemaran sampah, kelestarian Pulau Rambut juga terancam oleh pencemaran minyak. Berdasarkan studi Fakultas Kehutanan IPB (2002) diketahui bahwa pada beberapa lokasi di Pulau Rambut terdapat pencemaran minyak yang dapat menyebabkan kematian vegetasi.

 

Alternatif Rehabilitasi Kawasan

                Berdasarkan permasalahan yang terjadi di Suaka Margasatwa Pulau Rambut,  maka beberapa alternatif rehabilitasi kawasan Pulau Rambut antara lain adalah: (a) pembuatan pemecah ombak (water break), (b) pembersihan sampah di lantai hutan dan pengendalian pencemaran sampah, (c) pengendalian pencemaran minyak, (4) pembuatan saluran inlet air pasang ke kawasan, dan (5) penanaman, serta (6) pemeliharaan tegakan yang sudah ada.

                Pembuatan tanggul pemecah ombak berguna untuk mengatasi abrasi secara buatan, karena tegakan hutan yang saat ini dalam kondisi rusak secara alami sudah tidak mampu mengatasi abrasi. Selain itu, dengan pembuatan water break, anakan yang ditanam tidak terbawa oleh arus pasang surut.  Pembersihan sampah di lantai hutan dan pengendalian pencemaran sampah dan minyak ditujukan agar pertumbuhan anakan, baik yang ditanam maupun alami dapat tumbuh dengan baik.

                Pengendalian pencemaran minyak dapat dilakukan dengan beberapa cara, baik secara fisik, kimia maupun biologi.  Secara fisik, limbah minyak antara lain dapat disedot dengan memblokir areal tumpahan minyak (oil spill).  Cara ini selain cepat juga tidak mempunyai dampak negatif terhadap lingkungan sekitarnya, tetapi pengadaan alatnya memerlukan biaya yang tinggi.  Secara kimia, limbah minyak bumi dapat ditanggulangi dengan dispersant, dimana minyak bumi akan diikat oleh dispersant tersebut sehingga turun dan mengendap ke bawah permukaan laut.  Endapan tersebut akan terakumulasi dan tidak mudah terurai sehingga membahayakan biota dasar laut.  Alternatif penanggulangan secara biologi adalah dengan bioremediasi.  Bioremediasi merupakan penanggulangan yang ramah lingkungan, efektif, efisien dan ekonomis.

                Pembuatan saluran inlet air pasang ke kawasan bertujuan agar mangrove mendapat pasokan hara, menjaga keseimbangan salinitas substrat, dan pasokan oksigen ke lantai hutan. Seiring dengan berbagai upaya di atas, upaya yang tidak kalah pentingnya adalah penanaman pada areal yang sudah terbuka dan pemeliharaan tegakan yang ada.

                Dengan berbagai upaya tersebut, diharapkan mampu (1) memperbaiki dan mengatasi berbagai permasalahan yang saat ini terjadi di dalam kawasan Pulau Rambu, dan (2) dapat bermanfaat jangka panjang dan berkelanjutan untuk menunjang pengelolaan kawasan sehingga kawasan Pulau Rambut mampu menjalankan fungsinya sebagaimana tujuan penetapannya.

 

[Penang Int’l Airport, 29 Agustus 2010,waiting flight to Medan; Onrizal – onrizal03@yahoo.com; onrizal.wordpress.com]




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline