Lihat ke Halaman Asli

Pilkada, Incumbent dan Dinasti Politik

Diperbarui: 23 Februari 2017   11:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Hajatan demokrasi lokal jilid II baru saja berlalu (15/2) masyarakat telah menentukan pemimpin sebagai nahkoda penyelenggaraan pemerintahan lima tahun kedepan. Dari sekian banyak calon kepala daerah yang bertarung ternyata incumbent masih mendominasi bursa pencalonan. Alhasil incumbent masih kokoh di puncak kekuasaan, dan nasib sial menghampiri calon incumbent di beberapa daerah yang harus tumbang dari kursi kekuasaan alias kalah dalam pertarungan.    

Incumbent harus di maknai sebagai pencalonan pada periode kedua dalam jabatan yang sementara dijabat, atau orang yang sementara berkuasa dan kembali mengikuti kontestasi untuk perebutan posisi yang sama, dan para kandidat yang masih memiliki hubungan persaudaraan dengan kepala daerah sebelumnya (petahana).

Jika mencermati dinamika incumbent-petahana dalam dinamika pilkada maka trend  untuk kembali berkuasa mengalami peningkatan. Banyak calon incumbent-petahana yang memenangkan pilkada semenjak 2005, 2010 dan 2015.

Sebanyak 269 pilkada pada Desember 2015 yang terdiri dari 224 Kab, 36 kota dan 9 Provinsi, lebih banyak dimenangkan oleh calon incumbent dengan perbandingan kalah 42, 1 % dan menang 57, 9%.  Sedangkan presentasi kemenangan petahana Walikota 47,1 % dan Bupati 28,1%. (baca ; kompas)            

Pilkada 2017 sebagaimana data Kementerian Dalam Negeri terdapat 328 paslon yang berlaga di 101 daerah. 328 paslon terdiri dari 25 di provinsi, 246 di kabupaten, dan 57 di kota. Di antara 328 paslon, 104 adalah petahana yang terdiri dari 10 orang di provinsi, 70 di kabupaten, dan 24 di kota. Dengan demikian petahana-incumbent masih mendominasi bursa pencalonan dan menang dalam pilkada serentak jilid II.

Kemenangan incumbent menegaskan kepada publik bahwa tidak mudah mengalahkan mereka. “Incumbent berprestasi” dengan sejumlah keberhasilan pada periode pertama dengan mudah memenangkan pertarungan tanpa mencederai prinsip-prinsip demokrasi, sedangkan “incumbent bermasalah” (krisis prestasi, terjerat kasus korupsi, mengedepankan politik dinasti-politik kekerabatan) terseok-seok dalam suksesi periode kedua.

Incumbent bermasalah dalam perjalanan politiknya tidak berjalan mulus, bersih, dan jujur.  Berbagai cara (jurus ruci) digerakan untuk mencapai syahwat berkuasa, dengan melakukan politik kekerasan, politik intimidasi, politisasi birokrasi, politisasi penyelenggara pemilu dan bahkan politik uang.

Incumbent dan Politik Dinasti

Terpiihnya kembali “incumbent bermasalah” berdampak langsung terhadap praktik dinasti Politik. Setelah menjabat sebagai penguasa di tingkat daerah membuat elit politik berkeinginan menguasai jabatan lebih lama lagi, dengan cara mencalonkan sanak keluarga sebagai kepala daerah. Investasi berupa modal ekonomi, politik, dan mobilisasi masa membuat elit kekerabatan sangat mudah mengendalikan kekuasaan dan mengambil simpati rakyat. Dinasti politik tidak hanya semata-mata karena status sosial melainkan untuk  pengamanan kepentingan ekonomi politik para elit.        

Mendistribusikan keluarga-kerabat dekat menempati posisi strategis di birokrasi, partai politik, DPRD dan kepala daerah di beberapa kab/kota dalam satu provinsi. Jangan heran jika orang tuanya Gubernur, maka anak-anak, saudara, dan kerabat menjadi Walikota/Bupati. Jika Bapaknya menjabat Walikota/Bupati maka yang disiapkan menggantikan jabatan adalah istri/anak-anak/saudara kandung.        

Terdapat dinasti politik dari tingkat propinsi dan beberapa kabupaten dikuasai satu keluarga bahkan di satu kabupaten dikuasai oleh dua keluarga kurang lebih 10 s/d 15 tahun. Sebagaimana dinasti politik keluarga Ratu Atut Chosiyah di Banten dan Keluarga Sri Hartati di Klaten.   

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline