Perdebatan tentang dimana Soekarno lahir membuat jutaan rakyat Indonesia terdorong membaca kembali buku sejarah. Walaupun kemudian sebatas hanya untuk melihat dimana kelahiran Sang Proklamator.
Keributan selanjutnya barangkali tentang hari-hari penting nasional. Tanggal dan tahun bersejarah yang selama dijejalkan untuk dihapal anak-anak. Tentang tahun dimulainya perang Diponegoro, hari lahir Kartini, tanggal pemuda bersumpah dst. Kalau pun lebih jauh, mungkin sekadar membahas jenis kuda yang dipakai Diponegoro, Jantan atau betina. Apa jenis kerisnya, dsb.
Dari keributan kemarin, kita telah mencatatkan jutaan entry sejarah baru di mesin pencari google. Bahwa di sebuah masa, Indonesia adalah bangsa yang hebat dalam memperdebatkan sekadar 'dimana, siapa dan kapan'. Tanpa pernah berminat membahas mengapa dan bagaimana.
Hal-hal yang lebih substansial, seperti biasa, akan lewat begitu saja. Mengapa dan bagaimana supersemar diperoleh. Siapa rakyat yang dilabel PKI. Mengapa Indonesia menjajah Timor Leste, dst.
Sedikit lebih ke belakang. Mengapa Diponegoro digambarkan menggunakan sorban tapi menyelipkan keris di pinggangnya. Apa sebab dia kalah perang. Kita mungkin tak pernah terpanggil mengkaji; mengapa di abad ke 7 rakyat sudah bisa mendisain, menghitung secara akurat serta membangun candi besar, tapi tahun 1945--1.200 tahun kemudian--95% masyarakat Indonesia ternyata masih buta huruf.
Kapan titik baliknya; dari yang begitu cerdas hingga menjadi begitu bodoh 12 abad kemudian. Siapa dan bagaimana itu dilakukan, dan untuk alasan apa?. Dimana missing link nya?.
Indonesia diketahui pernah dijajah Belanda dan Jepang hanya karena di buku tercatat begitu. Tanpa pernah diteliti siapa yang mencatatnya demikian. Dan mengapa catatan yang diajarkan semiskin itu datanya. Padahal, jejak-jejak nyata di luar buku jelas terlihat bangsa ini pernah dijajah Arab, India, China, Eropa, Jepang dan Amerika.
Catatan panjang sejarah Indonesia banyak hilang karena bencana. Akibat posisinya yang di sepanjang Ring of Fire. Namun bencana lebih hebat sesungguhnya kini pun sedang terjadi. Karena tanpa sadar rakyat telah lama dikungkung oleh Ring of Power. Kita dengan mudah dibenamkan oleh banjir informasi, yang pintu-pintu airnya ada dalam kendali pemilik uang dan media.
Topik keributan bangsa silih berganti. Yang sesungguhnya hanya tentang pintu air mana yang sedang dibuka tutup. Anda pikir Anda tengah memenangkan perdebatan. Yang kemudian dengan jumawa--bahkan tertawa-tawa--menuding siapa benar dan siapa yang patut disalahkan. Padahal sesungguhnya reaksi tersebut hanya bagian dari riak yang memang sengaja diciptakan.
Kita boleh memilih. Menyambut air bah berikutnya dari pintu air lain yang akan segera dibuka sesaat lagi. Atau bersatu, melawan arus pembodohan dan keluar dari kolam permainan. Demi masa depan anak-anak kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H