Tadi pagi saya membaca posting-an teman saya di FB yang mengingatkan agar kita pandai melihat sesuatu dari sudut pandang yang proporsional. Komentar teman saya ini terkait dengan pemuatan poto Presiden RI dan 19 kepala Negara G-20 lainnya di salah satu koran terbesar Australia, The Courier Mail, di mana Presiden Jokowi digambarkan sebagai koki yang sedang memasak di tengah pesta. Tentu saja cover edisi khusus itu menuai reaksi dari beberapa kalangan di Indonesia yang menyebutkan bahwa hal itu sangat memalukan.
Menurut posting-an teman saya, dalam budaya informal di Australia, seorang juru masak dalam sebuah pesta kebun adalah figur sentral, pemegang "kunci", magnet di sekitarnya. Jadi dalam hal ini pakailah kaca mata orang Austalia. Dengan kata lain, kita harus melihat konteks di mana suatu peristiwa terjadi. Kalau di Indonesia juru masak dengan memakai peci dan celemek dianggap rendah, namun menurut budaya di Australia merupakan suatu hal yang mulia.
Tidak lama sebelum membaca posting-an teman, saya membaca berita tentang seorang guru SD di Surabaya yang berbuat tidak senonoh terhadap 6 muridnya. Ada beberapa komentar yang tidak nyambung dengan tulisan tersebut. Komentar dari para komentator ini sungguh menyakitkan hati orang Islam tentunya, karena mereka menyamakan perbuatan bejad guru tersebut dengan Nabi Muhammad yang menikahi Aisyah yang saat itu masih berusia 6 tahun (digauli pada usia 9 tahun, setelahAisyah haid). Postingan teman dan komentar atas berita guru SD yang tidak bermoral di atas, bagi saya memiliki keterkaitan dalam hal konteks.
Kata konteks dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian. Pada kasus cover, sudah jelas di mana dan siapa yang membuat cover tinggal kita bertanya pada orang Australia atau belajar dengan membaca budaya mereka tentang cover koran mereka yang dianggap bermasalah dikaitkan dengan budaya mereka, apakah suatu penghinaan atau penghormatan. Dari sini kita akan bisa memahami maksud dari koran tersebut menurunkan cover tersebut karena kita melihatnya dari konteks budaya orang Australia. Nah, begitu juga dengan Rasulullah yang menikahi Aisyah yang bagi orang zaman sekarang diartikan menjadi negatif.
Rasulullah hidup kira-kira pada abad ke-6 M atau kira-kira 1500 tahun yang lalu. Tentu kita ingat bagaimana wanita di Indonesia pada tahun 1950-an.Saat itu banyak yang menikah muda. Ibu saya yang lahir tahun 1950 menikah pada usia 17 tahun, usia yang tentunya dianggap sebagai pernikahan dini di zaman sekarang. Pada saat itu wanita yang menikah lebih dari 25 tahun dianggap negatif. Bandingkan dengan wanita yang menikah di atas usia 40 tahun pada zaman sekarang yang dianggap suatu hal yang wajar. Harus kita ingat bahwa zaman itu berubah. Apalagi jika bedanya hingga ratusan tahun dan beda budaya tentunya melihat konteks dalam menilai sesuatu adalah suatu keharusan. Apalagi tidak pernah terdengar dalam sejarah bahwa orang Mekah yang membenci Rasulullah saat Rasul masih hidup mempermasalahkan hal pernikahannya. Hal ini membuktikan bahwa pernikahan dini pada budaya Arab saat itu adalah sesuatu hal yang wajar.
Dari peristiwa di atas kita diajak untuk melihat sesuatu sesuai dengan standard atau konteks di mana peristiwa itu terjadi. Maka berhati-hatilah dalam mengambil kesimpulan agar tidak menimbulkan kebencian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H