Dituduh banyak pihak menjual negara dalam presentasinya di forum APEC Beijing minggu lalu, Jokowi menjawab bahwa pola pikirnya terinspirasi oleh keberhasilan China yang awalnya merupakan negara tertutup lalu membuka keran untuk investasi asing sehingga mampu mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi,yaitu 11-12 persen.
Seperti yang kita ketahui, China telah menjadi negara raksasa ekonomi setelah selama bertahun-tahun porak poranda karena dominasi kekuatan asing.Dalam membesarkan China, para pemimpin China mengambil pendekatan yang berbeda dengan negara adidaya Amerika Serikat (AS).
Untuk merealisasikan ambisinya sebagai polisi dunia serta penakluk bangsa-bangsa di dunia ini, AS dalam sejarahnya telah melaksanakan dua pendekatan, yaitu pendekatan militeristik yang diwakili kelompok Rajawali (hawkish) dan non militer yang diwakili kelompok Doves yang menempuh cara lewat jalur diplomasi,disarmament (pelucutan senjata), development aid (bantuan keuangan) dan detention (penahanan). Oleh karena itu banyak negara besar yang dulu adalah musuh AS sekarang berbalik menjadi sekutunya. Sedangkan negara-negara kecil dan berkembang sudah barang tentu banyak yang didikte oleh negara adi daya ini.
Zhongguo (China) adalah satu dari sedikit negara yang tidak mudah diperdaya AS. Kita lihat beberapa tekanan AS terhadap China sama sekali tidak mempan, seperti membiarkan China bergabung dengan organisasi dagang dunia (WTO) yang pada awalnya ia (AS) tolak. Contoh lain, As diam tidak berkutik ketika China tidak mengirimkan pasukan ke Irak, juga mengancam memberikan sangsi ekonomi dan pemutusan hubungan perdagangan jika tidak memberantas pembajakan tapi akhirnya semua itu hanya sekedar gertakan AS belaka.Ternyata negara yang tidak bisa mendikte China tidak hanya AS, negara-negara yang tergabung dalam G7 pun dibuat berdamai dengan China. Awalnya mereka menuntut dan menekan China untuk melakukan pembaharuan di bidang politik dan ekonomi dengan melakukan liberalisasi dan mengakhiri sistem pematokan nilai tukar yuan terhadap nilai mata uang dunia, tapi pada akhirnya mereka malah menggandeng China dalam keikutsertaan organisasi itu.
Apa sebenarnya yang membuat negeri dengan penduduk 1,3 milyar ini bisa berjaya menjadi negara yang bermartabat, yang tidak bisa didikte negara lain? Apakah karena sistem dan paham sosialis komunis yang diterapkan oleh Kung Chan Tang (Partai Komunis) sejak tahun 1949?
Tidak sampai 30 tahun, China sudah muncul menjadi negara yang disegani perekonomiannya. Dalam 10 tahun China menjadi raksasa dunia industri. Cadangan devisa yang pada tahun 1978 hanya sebesar 20 miliar dolar AS, berubah menjadi 500 miliar dolar AS dengan pendapatan perkapita mencapai 1.200 dolar AS.
Pembangunan infrasruktur besar-besaran terjadi di berbagai kota seperti di Shanghai, Pudong, Guangzhou dan yang terakhir di Nanning. Sekedar informasi, kota Nanning adalah kota kecil, kalau di Indonesia sebesar kota Cianjur, tapi dalam waktu satu tahun bisa berubah menjadi kota modern dan menjadi tempat penyelenggaraan China-ASEAN EXPO. Jalan protokol di kota kecil ini dibangun dengan lebar lebih dari 30 meter.
Sejak awal modernisasi China masih giat melakukan pembangunan infrastruktur, otomotif serta industri yang demikian kencang. Ini karena seluruh provinsi di China saling bersaing dalam memproduksi barang dengan kuantitas yang banyak, sehingga ongkos produksi bisa ditekan. Karenanya tidak heran bila harga barang-barang buatan China murah. Panasnya iklim produksi di China mengakibatkan laju pertumbuhan ekonomi China pernah menembus angka 11.
Menurut Dirjen WTO, pertumbuhan ekonomi China yang begitu dahsyat mengakibatkan pertumbuhan perdagangan Asia meningkat menjadi 19 %, bandingkan dengan pertumbuhan perdagangan dunia yang sebesar 16 %. Pertumbuhan kegiatan ekspor 34 % sedangkan impor 40 %, bandingkan dengan Indonesia yang hanya sebesar 7 % untuk ekspor dan 4 % untuk impor. Akan tetapi angka-angka tersebut tidak menggambarkan realitas pertumbuhan negara-negara Asia secara keseluruhan, karena angka itu merupakan akibat dari perekonomian China yang fantastis. (Data tahun 2005)
Pembangunan yang begitu fantastis ini berawal ketika China dipimpin oleh Deng Xiaoping (1976-1988). Oleh sebab itu ia mendapat julukan Bapak Modernisasi China. Pada saat itu para pemangku kekuasaan melihat bahwa pertahanan terbaik suatu negara adalah ekonomi. Pengalaman negara lain menjadi pelajaran, seperti Uni Sovyet, Jerman Timur dan Korea Utara yang lebih memilih pembangunan industri militer sedangkan ekonomi rapuh. Ternyata pertahanan seperti bisa mengarah kepada kehancuran. Maka untuk pertahanan ekonomi yang dipilihnya mulailah dibuka investasi asing di China, lalu berkembang hingga saat ini.
Pilihan China untuk memperkuat ekonomi adalah pilihan yang telah membuat negara tirai bambu ini menjadi negara terpandang. Disertai penegakan hukum terutama pemberantasan korupsi yang menjadi musuh utama pembangunan, dan komitmen para pejabat serta masyarakat China untuk melihat China sebagai negara yang makmur dan maju, juga keteladanan yang menjadi prinsip kerja mereka, serta kekuatan pasar lokal yang luar biasa. Bayangkan, kekuatan penduduk yang berjumlah 1,3 milyar orang telah menjadi pasar yang besar tanpa harus bergantung pada konsumen dari luar China.
Jadi, semua pencapaian fantastis China bukanlah karena sistem ekonomi etatisme (komunisme) yang menjadi acuan negara-negara komunis, tapi karena dalam mengelola negaranya para pemimpin juga masyarakat China telah menjalankan prinsip-prinsip kebenaran universal seperti kerja keras, tanggung jawab serta penegakan hukum.
Bila kita menyatakan semua itu adalah karena komunisme, bagaimana halnya dengan Uni Sovyet yang merupakan negara pencetus komunisme di dunia? Hanya dalam waktu 73 tahun saja setelah Revolusi Bolsyewik (komunis) pada tahun 1917, Uni Sovyet bubar lalu disusul negara komunis lainnya seperti Yugoslavia dan JermanTimur.
Keberhasilan China itulah yang menjadi inspirasi bagi Presiden Jokowi. Walaupun tentu saja China tidak lepas dari sejarah kelam, seperti pemasungan demokrasi dan pemasungan hak asasi manusia pun pernah dan mungkin masih terjadi hingga sekarang. Namun belajar dan mengambil pelajaran dari orang lain adalah sikap bijksana yang bisa kita ambil saat ini. Semoga kita bisa mencontoh China dalam menerapkan prinsip universal untuk maju, yaitu kerja keras, tanggung jawab serta adanya penegakan hukum, sehingga cita-cita mengantarkan negara Indonesia menjadi negara yang maju dan sejahtera akan tercapai dalam 5 tahun ke depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H