Pendahuluan
Salah satu pertanyaan paling penting yang menjadi pokok persoalan filosofis terdalam sepanjang sejarah filsafat adalah apakah sebenarnya realitas itu? Sejak era permulaan filsafat, pertanyaan enigmatis tentang realitas dunia tersebut selalu menjadi hal yang paling penting untuk diuraikan. Para filosof barat sejak 2000 tahun yang lalu telah mencoba menggali lebih dalam kenyataan yang ada di dunia ini guna menjawab enigma tak terpecahkan itu.
Seorang filosof bernama Arthur Schopenhauer merupakan salah satu filosof di abad modern yang ingin memecahkan persoalan tersebut dengan melihat dunia sebagai kehendak dan representasi.
Baginya, dunia tidak lain adalah sebuah kehendak yang menjadi representasi dari diri. Subyek yang mempersepsi mutlak ada di hadapan obyek. Dari pemikiran tentang kehendak ini, Schopenhauer mengembangkan satu pemikiran filosofis tentang kehendak yang irasional, buta dan tak terhentikan. Kehendak ini ternyata menghasilkan penderitaan bagi manusia itu sendiri.
Manusia hanya berlangkah dari satu pintu penderitaan ke pintu yang lain. Cara yang terbaik adalah menerima dan menghadapi kenyataan bahwa penderitaan menjadi bagian dari kehidupan manusia.
Keberanian Schopenhauer untuk mengelaborasi hakikat realitas sebagai kehendak dan representasi patut menjadi bahan diskusi yang tak terbantahkan. Meskipun dia dikenal sebagai filosof pesimistis, Schopenhauer menyumbang gagasan bagi banyak pemikir di abad-abad selanjutnya.
Biografi
Arthur Schopenhauer adalah seorang filsuf idealis Jerman yang melanjutkan tradisi filsafat pasca-Kant. Schopenhauer lahir di Danzig pada tahun 1788. Ia mempelajari filsafat di Universitas Berlin dan mendapat gelar doktor di Universitas Jena pada tahun 1813.[1] Ia hidup sebagai bujang kaya berkat warisan orangtuanya.
Schopenhauer sering hidup dalam ketakutan dan merasa terancam karena ia memiliki banyak harta. Oleh sebab itu, dia sering tidur dengan pistol di sampingnya. Schopenhauer hidup sendiri dan rencana pernikahannya selalu berantakan. Dia menganggap hidup dengan banyak orang memuakkan dan membuang waktu baginya.[2]
Schopenhauer banyak menerbitkan tulisan, tetapi tidak laku dijual di masa mudanya. Kendati demikian, ketika ia telah menginjak usia lanjut barulah karya-karyanya mulai diminati banyak orang.