Lihat ke Halaman Asli

Onessimus Febryan Ambun

Mahasiswa Program Studi Sarjana Filsafat IFTK Ledalero-Flores

Aristoteles dan Pranata Cinta

Diperbarui: 23 November 2021   00:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Frasa seperti "Aku cinta kamu", "Aku cinta mantanku", "Aku jatuh cinta", dan lain sebagainya sering diucapkan, tetapi apakah kita tahu makna cinta yang sebenarnya? "Cinta" adalah bagian terbesar dari kehidupan manusia. Kisah-kisah dalam dongeng, mitos, ataupun legenda seringkali menampilkan orang yang hidup untuk cinta dan bahkan mati untuk cinta. Di zaman sekarang, berbagai industri seperti industri musik dan kartu ucapan, berutang banyak atas keuntungannya pada apa yang mungkin merupakan definisi cinta yang dibuat-buat. Ihwal inilah yang membuat persepsi modern mengenai cinta semakin mencuat. Pertanyaan-pertanyaan seperti apa dan bagaimana cinta sejati selayaknya dikonsepsikan, ternyata makin hari makin menjejali otak kita.

Aristoteles adalah salah satu pemikir yang mencoba untuk mengkonsepsikan pranata cinta. Ia menulis banyak karya klasik dalam filsafat, tetapi Nicomachean Ethics karyanyalah yang menyentuh konsep tentang cinta tersebut. Fokus utama bukunya tersebut adalah tentang bagaimana mencapai kebahagiaan dan hubungannya dengan kebajikan, serta manfaat yang dihasilkannya bagi komunitas politik. Menurut Aristoteles, kebajikan sangat penting untuk mengejar kebahagiaan. Ketika berbicara tentang cinta, Aristoteles percaya bahwa cinta diri (self love) adalah prasyarat untuk mencintai orang lain.

Bagi sebagian orang, hal tersebut mungkin kedengarannya tidak benar. Kesan pertama ketika mendengarnya mungkin bahwa Aristoteles mempromosikan keegoisan. Namun jelas, dalam Nicomachean Ethics, cinta diri adalah emosi yang sepenuhnya tepat asalkan diekspresikan dalam cinta akan kebajikan. Selama kita mencintai diri sendiri, kita tidak mencintai diri demi kepentingan diri kita sendiri, tetapi juga demi orang lain. Hal itulah yang dinamakan kebajikan. Aristoteles menjelaskan bahwa jika cinta-diri yang menuntun seseorang untuk memperoleh sesuatu seperti kekayaan dan kekuasaan adalah tidak bermoral dan tidak berdasarkan pada kebajikan, karena hal tersebut akan menimbulkan efek negatif bagi masyarakat.

Dalam buku yang sama, Aristoteles berargumen bahwa "Hal-hal yang paling dasariah dari persahabatan yang ditemukan dalam hubungan persahabatan dengan teman atau sesama kita, tampaknya berasal dari ciri-ciri persahabatan terhadap diri kita sendiri. Dengan bersahabat dengan diri kita sendiri, kita juga pastinya akan bersahabat dengan orang lain. Karena, dengan memiliki seorang teman atau sahabat, kita mengakui bahwa kita hidup bersama manusia-manusia lain dan tentunya kita membutuhkan mereka dalam hidup kita sehari-hari sebagai instrumen aktualisasi cinta.

Masih tentang pranata cinta, Aristoteles menggunakan istilah "cinta" secara sinonim dengan "persahabatan" karena terjemahan bahasa Indonesia dari kata Yunani, philia, dapat diterjemahkan menjadi persahabatan atau cinta. Kita melihat dua elemen penting yang membentuk pandangan Aristotelian tentang cinta -- mencintai diri sendiri dan berbuat baik demi orang lain tanpa syarat (persahabatan). Aristoteles kemudian menggambarkan bahwa hubungan persahabatan yang dilakukan demi keuntungan dan kesenangan semata merupakan jenis persahabatan yang tidak menunjukkan sifat sejati dari philia, karena orang yang benar-benar mencintai diri sendiri tidak akan masuk ke dalam persahabatan yang hanya menggunakan orang lain sebagai sarana untuk mencapai suatu tujuan.

Gagasan Aristoteles tentang cinta diri telah menyebabkan beberapa orang menganggapnya sebagai seorang yang menganut egoisme etis. Namun, kaum egoisme etis berpendapat bahwa seseorang harus mengejar kepentingan mereka sendiri secara eksklusif tanpa kewajiban kepada orang lain. Di sini, Aristoteles memandang cinta dan prasyarat cinta-dirinya dengan cara yang sangat berbeda. Fokusnya adalah apa yang terbaik untuk orang lain bukan hanya apa yang terbaik untuk diri kita sendiri saja. Para pencinta diri versi Aristoteles di sini dianggap lebih mulia karena dia memikirkan dirinya sendiri terlebih dahulu untuk mencintai orang lain dengan benar. Jadi, dia tidak benar-benar altruistis dan juga tidak semata-mata egoistis - cinta versi Aristoteles berada di tengah-tengah kedua paham tersebut.

F. Onessimos

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline