Tak ada yang lebih sabar dibanding tukang sate. Tekun mengiris daging seperti mengiris duka.
Lalu dirangkai nasibnya, setusuk demi tusuk.
Tak ada yang lebih tegar dibanding tukang sate. Jajaran ketidakberdayaan ditata rapi siap dibakar.
Dikecapi, dibolak -balik dan seketika asap harum menguar.
Bukankah orang lain hanya mencium asapnya saja?
Tak ada asap jika tak ada api. Ketidakadilan memang layak dibakar.
Tak hanya itu, jika belum matang, bara perlawanan terus dinyalakan.
Sampai kesewenangan merasa bosan, mengapa aroma sate merayu kenikmatan?
Memang tukang sate paling sabar, meski di tinggal abu, tetap menggantinya dengan harapan baru.
Percayalah, tukang sate selalu menuangkan kecap nomor satu.
Tak ada yang mampu menandingi kesabaran tukang sate.
Keuntungan selalu terhidang di meja penguasa.
Sampai tusuk sate menujah laparmu!
SINGOSARI, 20 Januari 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H