Lihat ke Halaman Asli

SANTOSO Mahargono

TERVERIFIKASI

Penggemar Puisi, Cerpen, Pentigraf, Jalan sehat, Lari-lari dan Gowes

Tegar Bukan Manekin Anak

Diperbarui: 3 Desember 2020   21:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

wallpaperbetter.com

Gerimis masih menghiasi sore. Shift pertama waktunya pulang. Harusnya sejak jam 16:00 tadi. Tapi entahlah sepertinya aku ingin menerjang gerimisi ini. Ada cemilan kesukaan Tegar yang harus kuberikan dalam keadaan hangat. Secara jarak antara tempat kerja dengan kost juga tidak jauh.

"Bu bawakan cilok tahu ya, yang hangat" suara Tegar seperti terus menggema di telingaku. Suara setengah merengek yang membuatku semangat menjalani hidup. Suara yang menggema menjadi magnet agar aku selalu pulang tepat waktu.

Mana ada Ibu yang melupakan permintaan anaknya? Bahkan ujian berat pun akan tetap dikerjakan seorang ibu, walau dengan berbagai jawaban yang kadangkala sulit dan rumit. Seperti Tegar, dia bukanlah soal ujian bagiku. Sebaliknya ia menjadi mercusuar yang melabuhkan hatiku untuk sepasang mata hampa dengan tubuhnya yang ringkih.

Maka, tak salah jika kunamakan dia sebagai Tegar, kuharap bukan hanya anakku yang kuat menghadapi cobaan, tapi juga diriku sebagai perempuan yang membesarkan sendiri buah hati.

"Ibu datang, cepat masuk, gerimis ya bu" sorak tegar melihat kehadiranku. Kusambut tangan kecilnya memeluk wajahku. Seperti biasa aku harus menahan tangis dengan pelukannya, jangankan memeluk tubuhku, memeluk wajahku saja Tegar harus berusaha keras. Namun, justru itulah kasih sayang yang ia tunjukkan pada ibunya yang juga menyayanginya.

"Coba lihat, ibu bawa kesukaanmu, tara.....cilok tahu hangat" aku segera memberinya kejutan, agar penantian seharian segera menentramkan hatinya.

"Makasih bu, peluk lagi bu, Tegar kangen ibu" sekali lagi Tegar meminta untuk berpelukan. Pun kedua kalinya aku harus menahan sesak di dada. Ini sebuah tanda Tegar ingin diperhatikan, ingin lebih dekat dan satu-satunya orang yang menolong dalam hidupnya adalah aku, ibunya.

Aku sendiri bersyukur bisa membesarkan Tegar seorang diri. Sebagai seorang pramu layan (SPG) di sebuah pertokoan dekat alun-alun Kota Malang. Gajiku mungkin dibawah UMR, tapi kebahagiaanku hidup bersama Tegar seolah mengalahkan tuntutan yang sering didengungkan buruh saat unjuk rasa menuntut perbaikan upah.

Sejak Mas Didik menceraikanku, aku sudah bertekad untuk membesarkan Tegar seorang diri, bagaimanapun kondisinya. Dimanapun tempatnya. Aku harus bisa. Bagiku Mas Didik hanyalah ujian yang sudah lunas terjawab.

Aku yakin Tuhan memberi cobaan sesuai kekuatan hambanya. Maka dengan keyakinan itu pula membuatku menemukan berbagai jawaban. Pasti Tuhan akan membantuku menyelesaikan berbagai cobaan. Dan benar adanya. Buktinya, salah satu manajerku selalu memberi perhatian. Meski kadangkala aku membatasi diri jangan sampai menjadi bumerang dalam romantika.

Sudah berbusa-busa aku menceritakan kelucuan Tegar. Sudah berbilang-bilang aku menceritakan kepandaian Tegar, dan sudah bertingkat-tingkat aku menceritakan pertumbuhan Tegar. Meski dalam hati kecilku aku tahu bahwa manajer hanya menaruh belas kasihan belaka. Sedangkan aku sebagai ibunya, menjerit perih melihat Tegar tak seperti anak seusianya. Selain tubuhnya terlalu kecil, ia juga tak mampu bergerak aktif seperti anak pada umumnya. Hidupnya dihabiskan di kursi roda.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline