Aku tetap mencabuti rumput halaman lurah
Aku tetap menyapu selasar stasiun
Aku tetap membajak sawah juragan
Aku tetap menjahit sepatu
Aku tetap menjajakan kaos oblong
Aku tetap menyewakan payung hitam
dan aku tetap mencari hutang
menanak angin berlauk sepi.
Di sela-sela abu serta serpihan kaca
Aku tetap seperti sedia kala
Biarpun halte di kota membara
sebab apa guna aku pergi
jika sengsara telah membalut
tubuhku yang kurus ini?
Aku tetap diinjak seperti rumput
Aku tetap dilempar dari kerikil di tepi rel kereta api
Aku tetap dibajak ongkos saat panen tiba
Aku tetap diinjak oleh sepatu buatanku sendiri
Aku tetap menjadi ikon gambar di kaos-kaos oblong
Sampai aku dikubur bayang-bayang payungku sendiri.
Terima kasih, aku disini, sedang kau pulang disana
di depan televisi serta media sosial yang membuat kita
terpana. Bersama-sama kita lupa.
SINGOSARI, 11 Oktober 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H