Dusun Kapuran dikenal sebagai penghasil marmer terbaik. Hal ini sesuai dengan sebutan orang jaman dulu yang menganggap perbukitan dengan bebatuan warna putih itu sebagai bukit kapur. Padahal bukit kapur itu sebenarnya penghasil batu marmer. Dusun yang sejarak 10 km dari pantai ini memang satu-satunya penghasil batu marmer dibanding deretan bukit kapur lainnya yang memanjang di pinggiran pantai.
Di dusun Kapuran itu kami bahu membahu membelah batu marmer dengan berbagai ukuran. Kata bapak, bukit kapur itu sudah ada dan mulai dieksploitasi sejak zaman Belanda. Sepertinya bapak generasi ketiga, dan sebentar lagi tentu aku yang akan menjadi generasi keempat. Itupun jika bukit kapur itu masih menghasilkan batu marmer seperti saat ini. Jika bukit kapur itu habis lantas bagaimana?
Pernah kami memikirkan bukit kapur itu akan habis saat ngobrol di pos ronda. Salah satu tetangga nyeletuk tentang kemungkinan batu kapur itu akan habis. Tidak ada lagi batu marmer. Sebab jika dibandingkan dengan foto-foto jaman Belanda yang dipajang di pabrik marmer, bukit kapur itu semakin mengkerut, mengecil, terkikis dan tidak setinggi dulu lagi.
Saat bukit kapur itu sudah terpangkas, batu marmer tak bisa di belah lagi, maka beberapa orang punya alternatif antara lain pindah ke dusun lain, ada pula yang memilih bertani di ladang (karena di sekitar bukit kapur itu ada hutan yang dikelola Perhutani dan menyediakan lahan untuk berladang bagi penduduk dusun). Sisanya ada yang ingin menjadi TKI atau TKW saja. Sebuah alternatif penuh kepasrahan ala dusun.
Kami juga bertahan dengan kepasrahan selama ini. Sepertinya nasib kami tergantung seberapa besar ukuran batu yang diperoleh dari bukit kapur tersebut. Jika beruntung, kami akan memperoleh batu marmer besar lalu diserahkan ke pabrik untuk ditimbang dan ditukar dengan uang. Selama ini pula kami tak pernah ambil pusing dengan harga yang ditentukan pabrik.
Kalaupun ada yang mempermasalahkan harga beli dari pabrik pada akhirnya nanti akan kecewa dan sakit hati sendiri. Sebab pabrik tentu akan mengolah batu marmer mentah itu menjadi berbagai benda dengan harga yang berlipat-lipat.
Kami hanya pembelah batu marmer. Keahlian kami terbatas pada naluri yang selama ini diturunkan dari orang tua kami. Naluri kami sangat kuat dalam mencari dan menentukan batu marmer mana yang kelak akan menjadi batu terbaik.
Sekali lagi kami hanya pasrah, membiarkan punggung kami terpanggang matahari. Jemari dan telapak tangan kami juga kapalan, mengeras serta kasar seperti batu yang kami belah. Tak peduli laki-laki atau perempuan, semua sama. Jika ingin makan, ingin tetap hidup, dan ingin menyekolahkan anak, maka menjadi pembelah batu marmer adalah solusinya. Hanya itu saja? Ya, kami masih menganggap demikian hingga saat itu.
Sampai pada suatu hari, sebuah peristiwa terjadi. Bu Siti minggat!. Orang-orang se-dusun ramai membicarakan kepergian bu Siti. Kasak-kusuk membicarakan sebab musabab minggatnya Bu Siti cepat menyebar.
Berbagai dugaan menyeruak, salah satunya diduga Bu Siti tak tahan dengan Pak Bakri suaminya. Ada juga yang menduga Bu Siti sedang nekat menjadi TKW. Namanya juga minggat selalu menarik dibahas.
Usut punya usut, minggatnya bu Siti ini disebabkan oleh kecemburuan Pak Bakri, suaminya. Namun, tak hanya itu saja. Masih ada beberapa alasan lainnya. Alasan itu bahkan tak pernah terlintas saat kami ngobrol di pos ronda atau di sela-sela waktu istirahat menimbang batu marmer di pabrik.