Mungkin di kamar ini nama kekasih itu selalu kausebut. Aku yakin kursi putih berteman meja tumpukan kertas telah menyaksikannya. Betapa sunyi ia merekam penantian itu bersama waktu yang mendingin.
Sepucuk surat belum genap tertulis. Pada tiap awal paragraf, nama kekasih itu tertera. Hanya di ujung paragraf ketiga nampaknya kau ragu. Apa sebenarnya yang membuatmu berhenti menulis surat? Bukankah kau bisa bertanya kepada desir angin yang melawat jendela? Kapan hujan terakhir akan membawa surat ke ujung timur?
Aku masih menerka berbagai kemungkinan. Termasuk mengapa kau bersikeras memindah ranjangmu ke teras. Katamu, kau sudah kehabisan mimpi untuk bertemu kekasihmu. Tapi, nyatanya kau tak ingin terhalang apapun untuk menatap kekasihmu.
Setelah namamu tertulis di batu nisan, aku masih menyimpan berbagai tanya. Termasuk nama seseorang yang kau tulis di suratmu. Mengapa nama itu mirip sekali denganku? bukankah kau tahu aku hanya kelopak bunga yang selalu menaburi kubur rindumu?
SINGOSARI, 9 Agustus 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H