Bagi pemulung hari minggu adalah berburu. Setiap pagi adalah rejeki. Sebab waktu semakin lapuk, jika tak terpakai buat apa ditumpuk.
Kulkas yang demam, tak ada obatnya. Kompor menggigil, pertanda gempor. Besi berkarat siapa mau mengerat? Baju, TV, kipas angin dan dipan hanyalah mengantar kenangan. Sisanya hanya lagu tiup lilin, atau rombongan pelayat yang pulang ke rumah masing-masing.
"Wah Ayah bawa sepeda bekas, aku ingin ikut bersepeda bersama mereka" sambut anak bersuka cita seraya menunjuk rombongan sepeda di jalan.
"Kamu jangan bersepeda bersama mereka Nak. Mereka naik sepeda baru, kalau ini sepeda usang, sudah dibuang" sahut Ayah.
"Apa sepeda usang tak boleh dipakai Yah?" rengek anak.
"Mereka bersepeda mencari hawa diri, sedangkan kita mencari harga diri di timbangan" pungkas Ayah berlalu.
"Bukankah bersepeda untuk olah raga? mencari keringat?" seru anak.
"Bukankah tiap hari keringat berkawan denganmu?" timpal Ayah.
Anak itu masih gusar sambil melipat-lipat kardus. Malam begitu banyak lipatan gulita. Gigil telah mengayuh mimpi melunasi hawa lelap. Keluarga pemulung itu menutup gubuknya dengan tumpukan karton bekas bergambar sepeda lipat impor.
SINGOSARI, 28 Juni 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H