Di atas kereta saat pulang kubawa sekarung sajak. Sepasang mata perempuan menjala tanya. Meski berdegup, iseng kubertanya, "Turun mana?"
Perempuan itu tergeming. rambutnya terurai berkaca-kaca. Kedua lengannya menelusup diantara jaket berbulu.
Mungkin perempuan ini sedang terhunus sepi, kucoba menerka sendiri. Atau jangan-jangan rindunya dikoyak oleh pengkhianatan lelaki?
Ah, lelaki brengsek mana yang menyia-nyiakan dia. Kalau ketemu lelaki itu akan kutonjok saja mukanya. "Mengapa aku jadi emosi?"
Kereta melaju menembus kabut. Mataku dikerubut kantuk. Perempuan di depanku hening. Kutinggal ia menyelami mimpi.
Mendadak ia berkata: "Permisi, saya harus turun disini."
Aku gelagapan, "Hei, kue bulan ini untukmu, bawalah."
"Malam telah usai, aku harus turun disini."
"Malam telah usai?" aku menoleh ke kanan dan ke kiri.
Perempuan itu pergi memanggul sekarung sajakku. Seklumit bisik ia selipkan di telingaku. Suaranya mirip lolongan serigala purnama.
SINGOSARI, 5 April 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H