Saat mengunjungi pasar loak, berjejer kenangan dipajang. Kesedihan bergelantungan, serta tumpukan kesenangan. Nampak pula beberapa lembar birahi yang tertata agak sembunyi.
Kios-kios ramai dikunjungi jejak langkah. Mereka melihat-lihat jendela yang tak bisa melihat keluar. Ada pula sebuah pintu bekas yang tak lagi tertutup rapat. Mungkin karena cemburu, pintu itu sering dibanting. Sampai-sampai jam dinding tak pernah berhenti memperingatkan bahwa pada akhirnya cinta akan kembali pada angka 12 malam. Gelap, senyap, dan dekap.
Hanya sebuah kaca cermin yang terus menanyakan kepada pikiranku, "Sebenarnya kau ini siapa?" Aku terdiam seperti baling-baling kipas angin. Pakaianku menjadi barang loak yang dijajakan, dan tubuhku dimakan rayap. Aku menjadi debu yang mengerubuti kulkas tua. Sedangkan orang-orang sibuk menawar berita tentangku di televisi tabung yang hilang transistornya.
SINGOSARI, 13 Februari 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H