Negeriku yang pagi begitu cerah. Ibuku menggerus batu hitam di atas cobek. "Lihatlah nak, ibu sedang mendulang emas" bisik ibu dengan keringat menetes gerimis.
"Kalau ibu menggerus emas, mengapa menatap sungai di belakang rumah?" tanyaku gemetar. "Ibu membayangkan ikan, mereka bisa tinggal di akuarium, mati keracunan, atau kugerus saja sekalian bersama bawang dan garam."
Ibu terus menggerus batu hitam di atas cobek, gayanya lincah seperti memanem sawit yang mulai anjlok harganya. "Jika begini caranya, sebaiknya kubakar saja semua hutan dengan cabe yang pedas." Tiba-tiba ibu menggerutu seperti lupa bahwa harga cabe tertutup langit.
"Mengapa tak pakai api di tungku saja bu?" kembali pertanyaanku memanas.
"Kau belum tahu bahwa dapur ini adalah kekal, sedangkan ibu sebentar lagi surut, menyisakan sekam di tungku."
"Jangan pergi bu, tetaplah memasak, buatkan aku sambal paling pedas."
"Jika begitu nyalakan terus semangatmu, kau boleh jadi batu hitam yang menggerus atau cobek yang menahan segala gerusan."
SINGOSARI, 12 Februari 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H