Lihat ke Halaman Asli

SANTOSO Mahargono

TERVERIFIKASI

Penggemar Puisi, Cerpen, Pentigraf, Jalan sehat, Lari-lari dan Gowes

Puisi | Pesawat Kertas di Awan

Diperbarui: 1 Februari 2020   06:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pinterest/tgtsingapore

Masa kecilku selalu meracik imajinasi menjadi santapan berkesan. Kami bersantap dengan menjulurkan jabat tangan perkenalan. Apa kau masih ingat dengan malu-malu mengucap nama sendiri? Kupikir, tak ada yang dibanggakan selain punya teman bermain. Seperti mentari yang mengintip di sela-sela awan, ia mengajakku bermain petak umpet. Lalu, kulipat-lipat kertas menjadi pesawat yang menembus awan. "Mentari!!, kena kau." aku senang menemukan mentari dari persembunyiannya. Aku selalu menang dalam permainan itu. 

Saat kemarau menjadi sebuah bola bundar, aku dan kawan-kawan memadatkan dedaunan dan rumput. Cukup diikat dengan tali persahabatan kami berkompetisi menciptakan gol-gol dengan selebrasi telanjang dada. Anehnya, terkadang musim hujan memanggil-manggil dari balik bukit. Rupanya hujan tak sabar ingin bermain lumpur dengan kami. Maka bisa ditebak, saat pulang kupingku dijewer lagi. Sebab kaos bututku berlumpur. Meski rasa sakit hinggap di kuping, semenit kemudian pelangi membawa rasa sakit lenyap di awan. Kulambaikan tangan padanya, "Warnai pesawat kertasku ya!".

Imajinasiku mulai terkotak-kotak saat gawai menumbuhkan dewasaku. Gawai bukan dari kertas atau kardus bekas, aku tak pernah membuatnya. Tapi, ia terus memaksa jemariku mendiami sunyi. Perkenalan-perkenalan maya serasa indah dalam mimpi dengan mata terbuka. Mentari pun datang dan pergi tanpa kuhiraukan lagi. Terserah dia mau mengajak bermain apa, aku sudah tak bisa bangkit, merangkak, dan menggapai masa kecilku. Tumpukan kertas teronggok kosong, imajinasiku hampa.

Saat hujan ribut mengumpulkan air bah, aku menjaga acuh. Begitu kemarau memanggang mataku dengan pedih, layar gawai justru terus-menerus melepas ikatan persahabatan. Aku cukup menulis pesan duka mengiringi satu-persatu temanku menuju awan. Aku tak perlu menghadiri pemakaman, menjenguk sakit, menghadiri pernikahan dan merayakan kelahiran. Imajinasiku mengering. Ingatan masa kecil sudah tak mengeluarkan mata air. Rekahan demi rekahan menganga, mentari marah. Memanggang dedaunan dan rumput, pesawat kertas tersangkut di awan. Pesawat kertas itu hangus terbakar, tak bisa dipadamkan dengan segala imajinasiku.

SINGOSARI, 31 Januari 2020




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline