Pejabat-pejabat beradu kata. Mengalir deras dari bendungan-bendungan yang dibuka pintuya. Tak peduli kata-kata ngawur yang penting mampu menghanyutkan tutur. Membiarkan lantur mengalir kemana saja. Hingga tenggelam berita-berita. Kita dikepung kata-kata. Gerimislah mata kita dengan prihatin.
Maka kita mengungsi saja, di halte bus yang teduh. Barangkali ada kata-kata yang pergi naik bus. Tapi, naas, kata-kata terucap diantara pengungsi. "Kami lapar pak, kami belum makan pak." Kata-kata mereka terucap dari suara lambung yang kering, tak seperti saku pejabat yang basah meninjau banjir.
"Horeee, ayo nyebur lagi, ayo kita menyelami kata-kata" kata anak-anak yang berloncatan di genangan kata-kata.
Kemarin, pejabat-pejabat mengukur tinggi permukaan kata-kata. "Jika semalam nanti hujan kata-kata terus, maka bendungan bisa jebol" ujar pejabat. Baiklah ayo kita waspada. Jangan lagi berkata-kata. Biar cepat surut. Lalu kita bersihkan lumpur kata-kata di jalanan. Kita semprot dengan mobil pemadam kebakaran. Sepertinya dengan begitu kata-kata tak lagi berkobar-kobar meninggalkan kerja-kerja.
"Horeee, ayo kerja lagi, ayo kita sembur semua lumpur" kata pekerja-pekerja yang diperintah pejabat.
Seperti biasa, banjir memang ancaman, tapi kata-kata bisa saling mengancam.
SINGOSARI, 5 Januari 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H