Lihat ke Halaman Asli

SANTOSO Mahargono

TERVERIFIKASI

Penggemar Puisi, Cerpen, Pentigraf, Jalan sehat, Lari-lari dan Gowes

Rubicon, Cara Masyarakat Mengenang Kepala Daerah

Diperbarui: 25 Februari 2023   14:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mobil dinas jip Rubicon milik Bupati Karanganyar, Juliyatmono di Karanganyar, Jawa Tengah, Kamis (26/12/2019). (Foto: KOMPAS.com/LABIB ZAMANI)

Menjadi kepala daerah bagi seorang politikus adalah prestasi tersendiri selain pilihan-pilihan jabatan politis lainnya. Ditambah lagi jabatan itu diperoleh dengan dukungan suara rakyat. Sebuah legitimasi yang mengandung kepercayaan tinggi serta harapan adanya perubahan positif yang didamba rakyat. 

Pun menjadi kepala daerah bagi seorang politikus sejatinya adalah sadar dengan sesadar-sadarnya bahwa ini sebuah amanah yang berat untuk diemban. Mengapa demikian? Karena mereka, para politikus, yang mengejar mimpi menjadi kepala daerah sejatinya sudah menyiapkan segala hal semenjak menjadi kader partai. 

Lalu, dengan perhitungan serta kerjasama koalisi yang rumit untuk memenangkan pilkada (pemilihan kepala daerah) menjadi tantangan nyata, kelak kedepan setelah menjabat, mereka juga menyadari bahwa ada rakyat yang kelak dilayani baik dari pendukung maupun bukan pendukungnya.

Jika dulu semasa pemerintahan Sukarno dan dilanjutkan oleh Soeharto, untuk menjadi seorang kepala daerah tingkat I dan tingkat II harus melalui proses "jatah dari pusat", maka sejak memasuki era reformasi mulai dipikirkan bagaimana mekanisme pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat. 

Terbitlah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang didalamnya mengulas pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat. Lalu pada tahun 2007 disyahkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum yang memilih kepada daerah dan wakil kepala daerah melalui pemilihan umum atau disingkat Pemilukada. 

Salah satu pemilukada yang berpayung hukum Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 adalah Pemilukada DKI Jakarta yang saat itu dimenangkan oleh pasangan Fauzi Bowo dan Prijanto.

Kembali lagi saya ajak untuk bernostalgia tentang kepala daerah masa rezim Soeharto, di mana saat itu rata-rata untuk Gubernur dijabat oleh Perwira Tinggi Militer dan untuk bupati/walikota dijabat oleh Perwira Menengah Militer. 

Terlepas dari anggapan bahwa para kepala daerah itu merupakan pilihan Soeharto atau tidak akan tetapi mereka sanggup mengemban tugas dengan baik di daerahnya masing-masing. Sejak awal mereka sudah siap ditugaskan dimanapun di wilayah kesatuan Republik Indonesia. 

Apakah prestasi mereka tidak ada problematika? tentu tidak, masing-masing kepala daerah dimasa itu pasti memiliki permasalahan yang menyangkut kepemimpinannya, mungkin karena akses informasi tentang pejabat kepala daerah semasa itu tidak bisa langsung diterima oleh masyarakat, maka isu-isu yang bergulir biasanya lebih pada tema nepotisme. 

Saat itu menurut awam atau pada umumnya jika menjabat kepala daerah paling tidak memiliki "jatah" untuk keluarga maupun saudara agar mudah dalam berusaha maupun bekerja di instansi tertentu (tentu pilihannya yang basah-basah). Isu demikian juga teramat simpang siur berkembang di masyarakat, entah benar atau tidak masyarakat sama-sama kesulitan memperoleh kebenarannya. 

Sementara hanya itu saja yang menjadi bahan kasak-kusuk di masyarakat, saat itu tak pernah terdengar apapun tentang kendaraan dinas atau mobil dinas. Mungkin juga saat itu mobil pejabat hanya dua jenis, yaitu merceds benz dan volvo, belum timbul aneka mobil mewah seperti sekarang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline