Lihat ke Halaman Asli

SANTOSO Mahargono

TERVERIFIKASI

Penggemar Puisi, Cerpen, Pentigraf, Jalan sehat, Lari-lari dan Gowes

Puisi | Hari Ibu dan Riwayat Puisi

Diperbarui: 21 Desember 2019   21:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi membatu. (sumber: pixabay.com/herm)

Puisi sekarang tidak ada yang singkat. 
Jika perlu satu halaman padat.  

Apa itu pertanda penyair semakin hebat? 
Bukankah diksi-diksi tetap sehat? 

Puisi sekarang tidak ada yang merayu nekat 
Sebab perempuan sudah tahu puisi 
mana yang memiliki syahwat, 
atau dompet-dompet yang berisi lebat. 

Apa itu pertanda perempuan terampil berfirasat? 
Bukankah cinta dan puisi hidup lekat? 

Entahlah, 

Ibuku juga luluh dengan ayah gara-gara 
puisi. Rayuan yang disodorkan langsung 
dikemas tanpa tawar menawar.

Kini, di hari ibu yang ke dua puluh kalinya,
ayahku sedang mencuci sepeda motor,
membersihkan rumput, menguras kamar mandi
dan menjemur burung kesayangannya.

Apakah ayah tak membuat puisi lagi
di saat hari ibu? apakah ini pertanda kiamat?

"Belum, belum kiamat nak, ibu masih menawar
belanja sayuran di pasar, ibu juga masih
ingin menyeduh teh tawar untuk ayah"
tukas ibu.

"Bukankah dengan puisi cinta ayah tak ada tawar menawar bu?" tanyaku.
"Ya betul, hari ibu adalah hari tanpa menawar kehidupan dan kasih sayang" pungkas ibu.

SINGOSARI, 21 Desember 2019




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline