Seperti biasa, sebelum pergi ke kantor kusempatkan mampir di warung nasi pecel. Apalagi jarak kantor dengan warung hanya kisaran ratusan meter saja. Setiap pagi banyak pekerja kantoran yang sarapan nasi pecel di warung itu. Tempatnya bersih, nyaman, jauh dari jalan raya dan parkirnya luas. Sepiring nasi pecel lengkap dengan teh hangat dibanderol delapan ribu rupiah saja. Sisanya yang dua ribu rupiah bisa untuk ongkos parkir. Selain nasinya punel, bumbu pecelnya juga pas di lidah. Ada tiga pilihan rasa pedas untuk sambalnya, yang biasa, sedang dan sangat pedas. Rata-rata pekerja perempuan menyukai sambal yang pedas. Meskipun sangat pedas, perempuan itu tetap saja ngobrol ngalor ngidul sambil menikmati sarapan.
Pagi ini sengaja aku tiba di kantor agak pagi, karena tugas proyek semakin menumpuk. Kupikir tak ada salahnya jika asupan pagi hari untuk mendongkrak energi. Bekerja bukan hanya menyelesaikan tugas, namun juga menjaga pola hidup yang teratur, salah satunya makan pagi. Jika masih pagi yang memenuhi meja kursi selalu para pekerja perempuan. Mungkin mereka baru saja diantar suaminya, sehingga tak ingin merepotkan suaminya dalam hal makan.
Suap demi suap nasi pecel telah kulahap. Memang nikmat luar biasa. Ditambah lagi bisa menatap wajah pekerja perempuan yang tentu saja full make-up, terlihat segar, menarik dan pastinya cantik. Para pekerja perempuan itu sedang sibuk mengomentari sebuah acara infotainment. Topiknya adalah seorang artis yang lepas kerudung. Sebuah televisi ukuran besar lengkap dengan sound system sebagai hiburan di warung itu. Sehingga orang-orang semakin betah berlama-lama di warung.
Ceritanya ada seorang artis, sebut saja namanya Melati. Artis yang belum cukup dewasa ini nekad melakukan pernikahan dini dengan seorang aktor, sebut saja namanya Kumbang. Di awal pernikahan mereka tampak begitu romantis. Setiap momen yang ditayangkan di televisi rasanya mustahil kalau akhirnya mereka bercerai. Penyebab perceraian itu adalah hadirnya pria lain. Dimana pria lain itu menuntut Melati untuk lepas kerudung. Gonjang-ganjing kisah mereka yang tayang di televisi itu sungguh meramaikan suasana warung.
Riuh suara seperti sekumpulan lebah memenuhi telinga. Diantara mereka ada yang menanggapi dengan gelak tawa, ada pula yang emosional. Bahkan yang unik adalah tiga orang ibu di depan mejaku. Mereka begitu emosional melihat artis Melati yang lepas kerudung. Padahal semua yang diinginkan Melati sudah terpenuhi. Giliran sudah nyaman malah minta cerai.
"Enak aja itu si Melati, dapat suami baik, masih saja nggak bersyukur," ucap ibu paling kiri.
"Ah biarkan aja Nyah, artis memang suka kawin cerai," balas ibu paling kanan.
"Memangnya cerai selalu lepas kerudung, apa semua laki-laki lebih suka yang buka-bukaan?," cerocos ibu paling kiri.
Aku hanya melirik sepintas saja, belum ada pernyataan dari ibu yang duduk di tengah. Justru ibu itu sibuk mengunyah tempe bacem seukuran sabun mandi. Setelah habis tiga tempe, ibu yang duduk di tengah itu mulai angkat bicara.
"Ah laki-laki mah bukan itu yang dicari, buktinya saya selalu buka-bukaan di depan suami, eh malah suami ngeloyor ke pos ronda, ngeselin kan?, seloroh ibu itu berlagak bahasa Sunda.
Sejenak kedua ibu di kanan dan kiri hening, lalu serentak keduanya menoleh ke arah ibu yang duduk di tengah. Saya pun dibuat kaget, sampai tersedak, dan terbatuk-batuk. Penyebabnya ibu yang duduk di tengah itu paling gemuk diantara dua ibu lainnya. Sontak mereka tertawa terbahak-bahak, mengabaikan perutku yang tak kuat menahan tawa.