Ibu merapikan baju-bajuku, sengaja kutinggalkan beberapa baju di desa, selain tak perlu repot bawa baju, juga sebagai hiburan baginya saat rindu aku. Kata ibu, bajuku terawat dan bersih. Aku menjawab dengan senang, itulah yang ibu ajarkan kepadaku. Ibu tersenyum haru penuh rindu. Bajuku diciumnya berulangkali.
Dulu sewaktu ibu masih kanak-kanak, seringkali merindukan kakek yang pulang seminggu sekali. Kata ibu, kakek selalu membawakan mainan dan baju yang lucu-lucu. Saking rindunya kepada kakek, terkadang nenek cemburu tidak pernah merasa dirindu. Ibu tak kurang akal, aku sebagai cucu menjadi pilihan untuk rindunya.
Saat pertama kali berumah tangga, ibu selalu merindukan ayah, meskipun setiap malam ayah pulang ke rumah. Kata ibu dan aku juga sering tahu, ayah selalu pulang membawa makanan kecil. Tapi, ibu paling suka jika ayah membawa oleh-oleh martabak, bisa jadi lauk pauk sekalian menghabiskan sisa nasi.
Kini, setelah ayah tiada, ibu masih merindukan ayah. Ziarah kubur sering dilakukan ibu untuk menyambung rindu. Tapi, semenjak ibu merasa kakinya pegal-pegal, nafasnya sedikit tersengal-sengal, ziarah hanya sebulan sekali. Selebihnya ibu merindu aku.
Aku dan ayah memiliki kesukaan yang sama. Kopi di pagi hari dan teh hangat di senja hari. Sambil duduk-duduk di teras, kupijat kaki ibu agar mau bercerita, tentang rindunya yang berubah. Tentang keinginannya agar aku menemani sepanjang hari, serta mimpi-mimpinya bertemu ayah. Sementara aku belum bisa menata rinduku yang belum berubah.
Malang, 29 Mei 2019
Mencoba gaya penulisan puisi, semoga berkenan dan ingatlah selalu Ibu dan Ayah. Semoga mereka berdua orang yang dikasihi Tuhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H