Seperti Pidato Prabowo beberapa waktu yang lalu yang memprediksi Indonesia bakal bubar, saya pikir tidak usah menunggu hingga 2030, bisa jadi Indonesia akan bubar lebih cepat. Bagaimana tidak, dalam menyikapi sebuah puisi pun kita bisa sedemikian heboh tak karuan. Dan luar biasanya, tanggapan dan komentar sudah melebar ke segala arah merembet dan menyerempet ke mana-mana hingga Pilres dan Presiden Jokowi.
Bisa jadi Prabowo benar, Indonesia akan segera bubar, dan mungkin saja terlalu lama kalau kita harus menunggu hingga 2030.
Meskipun Sukmawati dalam kapasitasnya sebagai seorang budayawati sudah mengklarifikasi makna dari puisi yang diciptakannya, namun mereka yang terlanjur merasa "sakit" memilih tetap sakit dan menolak sembuh.
Hal ini terlihat dari ngototnya mereka memaksakan tafsir tunggal atas puisi tersebut, tidak peduli apa yang menjadi tafsir pihak lain. Persetan dengan pesan dan paparan realita nyata yang hendak disampaikan si penulis lewat puisinya. "Kami sudah disakiti, Titik!"
"Lebih parah dari kasus Ahok", begitu kata sebagian orang yang sedemikian "tersakiti" oleh tajamnya tusukan konde puisinya Sukmawati. Tidak sedikit, bahkan ada yang sudah sampai di level "ternista" akibat penyimpulan makna absolute bahwa suara azan dan alunan merdu kidung ibu adalah tabu untuk dibandingkan. Tentu bukan hal itu yang hendak diperbandingkan si penulis sebagaimana telah klarifikasi oleh yang bersangkutan kemudian.
Kalau dalam menyikapi puisi saja kita harus seragam rasa dan makna, untuk apa kita mengaku ber-bhinneka?
Entahlah bila rasa bisa dikalibrasi. Jika tidak, ini tentu sangat berbahaya, karena banyak hal bisa menjadi pembuat rasa. Dari bumbu dan penyedap, sangat bisa mencipta rasa. Belum lagi sugesti, provokasi, tentu sangat bisa membangkitkan rasa. Dan yang namanya rasa, meski dicedok dari kuali yang sama, namun ketika sampai di lidah yang berbeda, belum tentu akan tetap satu rasa.
Terlalu berbahaya jika rasa tidak terkalibrasi, dan setiap orang merasa berhak menjadi penentu rasa termasuk untuk lidah orang lain.
Akibatnya, ada orang yang begitu mudahnya merasa tersinggung, terzholimi, ternista oleh sesuatu hal yang bagi orang lain sama sekali tidak demikian. Beginilah jadinya jika tidak ada ukuran, tidak ada tolok ukur untuk sesuatu hal bisa dikategorikan menista. Ukurannya apa, siapa yang menentukan, dasarnya apa, semestinya harus jelas. Sehingga tidak ada yang dirugikan akibat subyektifitas rasa .
Siapa saja bisa menjadi korban dari subyektifitas jika tolok ukurnya tidak jelas. Istilah penistaan akan menjadi momok yang sangat menakutkan, yang kapan saja bisa dimainkan guna membungkam seseorang atau sekelompok orang, dan ini sangat tidak adil.
Jadi, bila kalibrasi rasa belum bisa dilakukan, sudah semestinya diadakan tolok ukur yang menjadi standar guna menguji jika sesuatu hal patut dianggap sudah melewati batas rasa yang bisa ditoleransi sehingga seseorang atau sekelompok orang kemudian pantas dan layak untuk tersinggung dan merasa ternista.