Siapapun pasti akan setuju bahwa Presiden Jokowi itu orangnya sabar dan tidak lekas marah. Berbeda dengan Ahok, yang emosinya bisa langsung meledak saat dipancing untuk marah. Bisa jadi, beda karakter keduanya dalam hal mengelola emosi inilah yang membuat hubungan keduanya bisa langgeng, dan tampaknya saling membutuhkan satu sama lain. Sifat marah itu sebenarnya manusiawi, bahkan anak kecil pun bisa marah. Memang, kebiasaan lekas marah itu seringkali kurang baik dan tidak menguntungkan. Dan orang pada umumnya lebih suka dengan seseorang yang sifatnya penyabar.
Namun, bukan berarti orang yang sabar itu tidak bisa marah. Orang sabar itu tentu bisa marah, namun ia lebih dewasa dan lebih kuat, sehingga ia mampu mengendalikan amarahnya. Meskipun demikian, kesabaran tentu ada batasnya. Sesabar-sabarnya orang sabar, ada kalanya oleh sesuatu hal ia menjadi marah, dan kemarahannya bahkan bisa tak terhindarkan atau tak terbendung. Pepatah menyebut," marahnya orang sabar itu bisa berbahaya."
Ahok, orang yang terkenal karena sifatnya yang keras dan suka marah bahkan pernah berujar bahwa Pesiden Jokowi jauh lebih tegas dan keras dari dirinya. Mungkin, banyak dari kita yang tidak percaya, namun tentulah Ahok tidak sembarangan dalam membuat pernyatan demikian. "Tidak banyak yang tahu kan kalau sebenarnya Jokowi itu lebih tegas dan keras daripada saya. Dia kelihatan lembut di luar karena orang Jawa." Demikian Ahok.
Lantas, apa yang membuat Presiden Jokowi perlu membuat "kejutan"? Khususnya kepada SBY tentunya, yang sepertinya terus "usil"dengan pemerintahan Pak Jokowi. Padahal, kita semua tahu bahwa Presiden Jokowi itu orangnya pemaaf, tidak pendendam, dan juga tidak suka mengungkit-ungkit kesalahan orang lain. Jenderal (Pol) Budi Gunawan yang pelantikannya jadi Kapolri pernah dibatalkan, diangkatnya menjadi Kepala BIN. Ignatius Jonan, yang pernah diberhentikannya karena keras kepala, kembali diangkat menjadi menteri (ESDM). Orang yang pernah membuat gambar tak senonoh dirinya juga dimaafkannya. Kurang apa lagi Pak Jokowi?
Entah apa sebabnya, Partai Demokrat yang dipimpin oleh SBY kemudian seringkali menyinggung berbagai permasalahan yang terjadi pada era kepemimpinan Jokowi. Dimulai sejak awal pemerintahan di antaranya: krisis global yang berdampak terhadap Indonesia, terpuruknya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat, kenaikan harga bahan pokok, pemutusan hubungan kerja beberapa perusahaan besar, hingga kekeringan dan kebakaran hutan. Sumber
Kemudian berlanjut dengan Tour de Java, dimana melalui hajatan kali ini, SBY dengan dalih rindu rakyat namun faktanya adalah menjelekkkan pemerintahan Jokowi. Ditambah lagi dengan wacana mempersiapkan "Someone' untuk nanti berhadapan dengan Pak Jokowi di Pilpres 2019. Memang, Tour de Java selama satu bulan tersebut pada akhirnya menjadi sia-sia, karena tindakan Pak Jokowi yang iseng pergi blusukan ke Hambalang. Namun tidak kurang, isengnya Jokowi ini membuat tour yang tadinya dirancang akan berlanjut ke pulau-pulau lainnya mendadak mangkrak hingga hari ini.
Namun, SBY seakan terus berusaha mengusili pemerintahan Jokowi. Dan di bulan Agustus kemarin, SBY melontarkan pernyataan tentang poros maritim pemerintah Jokowi, yang menurutnya belum terlihat secara nyata, dan juga disebutnya hanya sebatas retorika belaka. Tidak kurang, dan akhirnya netizen tampil untuk membully SBY, karena tidak terima dengan kritik SBY terhadap apa yang sudah dikerjakan oleh pemerintahan Jokowi, khususnya dengan kebijakan dan ketegasan menteri Susi Pudjiastuti dalam pemberantasan illegal fishing, dan juga Tol Laut yang sudah mulai terasa dampaknya.
Dan yang paling anyar adalah, nekatnya SBY menarik putra sulungnya , Agus Yudhoyono untuk bertarung di Pilkada DKI. Sampai di sini, sepertinya Presiden Jokowi masih menganggapnya sebagai sesuatu hal yang biasa dalam politik. Namun belakangan, situasi bertambah panas karena ada dugaan cara-cara yang tidak fair digunakan guna memenangkan calonnya SBY.
Dengan reaktif, SBY kemudian memposisikan dirinya sebagai korban fitnah dari laporan "intelijen", yang mana seakan-akan SBY dan Partai Demokrat berada di belakang rencana demo 04 November. Ketika itu, Presiden memang menyambangi Prabowo Subianto di Hambalang yang juga dilanjutkan dengan pertemuan dengan tokoh-tokoh agama tanpa ada indikasi untuk mengunjungi SBY.
Hal ini membuat keadaan semakin panas karena sebelum hajatan demo, SBY mendatangi Menkopolhukam Wiranto dan juga Wapres JK. Esoknya, dalam konferensi Pers di Puri Cikeas, SBY membuat pernyataan: "Kalau ingin negara ini tidak terbakar oleh amarah para penuntut keadilan, Pak Ahok mesti diproses secara hukum. Jangan sampai beliau dianggap kebal hukum." Padahal, sangat jelas proses hukum untuk kasus tersebut sedang berjalan.
Melihat situasi yang semakin bergerak liar, Presiden Jokowi langsung bergerak cepat dan melakukan konsolidasi politik ke berbagai pihak, kecuali pihaknya SBY. Sangat mungkin, bahwa konsolidasi ini ditengarai sebagai upaya Presiden Jokowi untuk meyakinkan semua pihak yang ditemuinya untuk tetap mantap mendukung pemerintah. Sekaligus untuk tidak tergoda dengan isu yang berkembang tentang upaya pelengseran Presiden Jokowi, yang diduga melalui kasus Ahok telah dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang dengan sengaja memancing di air keruh.