Lihat ke Halaman Asli

Omri L Toruan

Tak Bisa ke Lain Hati

Kasus Ahok, Ujian Keteguhan Hati Presiden Jokowi

Diperbarui: 11 November 2016   15:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar : teropongsenayan.com

Banyak orang bertanya," Untuk apa Presiden Jokowi mengambil resiko dengan "melindungi" Ahok dalam kasus dugaan penistaan agama?" Apalagi dengan perkembangan yang saat ini, isunya sepertinya semakin ramai,  bukan lagi soal Ahok dan kontestasi  Pilkada DKI. Bahkan lebih jauh, kasus ini seakan-akan sudah menjadi persoalan antara umat Islam dengan Ahok. Bahkan, ada indikasi  kisruh ini mulai melebar kemana-mana dengan sengaja membenturkan Presiden Jokowi dengan Wapres, dengan Panglima TNI, dan mungkin juga akan merembet ke pihak-pihak lain, untuk kemudian dibenturkan dengan presiden sebagai pressure, sehingga pada akhirnya presiden mengalah dan bersedia "mengorbankan" Ahok seperti keinginan massa pendemo.

Persoalannya tentu  tidak sesederhana yang terlihat di permukaan, meskipun kelihatannya bahwa kasus ini akan selesai jika Ahok dinyatakan bersalah dan dijadikan tersangka, lalu masuk penjara. Tentu tidak sesederhana itu. Andai demikian, sangat mungkin Presiden Jokowi akan meminta Ahok "mundur" dari proses pencalonannya untuk menjadi gubernur DKI, lalu memberikannya posisi yang lain. Apalagi, (menurut penilaian saya) Ahok juga bukanlah orang yang berambisi agar bisa tetap menjadi gubernur.

Di balik kasus ini sebenarnya ada persoalan besar yang tersembunyi, dan itu menyangkut konstitusi, kebhinnekaan, NKRI, dan hukum juga  tentunya. Dan sangat terlihat bahwa Presiden Jokowi sangat berhati-hati dalam menangani kasus ini supaya tidak salah langkah.

Biila kita mau jujur menilai kasus ini seperti apa,  jauh sebelum kejadian di Pulau Seribu, kelompok-kelompok penolak Ahok ini sudah berkali-kali melakukan aksi demonstrasi menolak Ahok. Dan sangat naif bila kita menafikan korelasinya, karena pesertanya adalah mereka-mereka juga. Dari aksi penolakan terhadap Ahok ketika hendak dilantik menjadi Gubernur DKI, Deklarasi gubernur tandingan, Desakan kepada KPK untuk mentersangkakan Ahok dalam kasus pembelian lahan Sumber Waras, Risalah Istiqlal, hingga demo 14 Oktober, pesertanya tidak lain dari FPI, HTI,FUI, GMJ, ditambah belakangan ini dengan pemilik kepentingan politik yang memanfaatkan kasus ini demi tujuan politik mereka dengan memanfaatkan ketersinggungan dan ketidaktahuan massa.

Kelompok ini memang dari dulunya sudah menolak Ahok, apa pun kasusnya. Ditambah dengan hadirnya kepentingan politik di Pilkada DKI, sudah pasti hal tersebut membuat gaung penolakan terhadap Ahok bergema semakin kencang dan lebih terkoordinir, karena mendapat tambahan amunisi baru dari mereka yang bersembunyi di balik demo ini.

Lalu, apakah kita masih bisa menyebut tuntutan mereka kali ini benar-benar murni demi hukum dan keadilan? 

Saya sangat tidak sependapat. Dan presiden Jokowi juga saya kira  sepakat dengan Buya Syafii Maarif, yang dengan tegas menyatakan bahwa pernyataan Ahok sama sekali tidak menista agama. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi Presiden Jokowi untuk memenuhi tuntutan para pendemo, kecuali jika beliau mau "cari selamat" dengan jalan yang kelihatannya mudah dan murah, yakni "mengorbankan' seorang Ahok guna memenuhi rasa 'keadilan" dari mereka-mereka yang memang sejak dulu sudah menolak Ahok dan tidak rela bila DKI dipimpin olehnya.

Siapa yang menjamin bahwa kasus ini  akan berhenti sampai di situ?

Tentu tidak ada, karena kasus ini bila kita jeli melihatnya bisa menjadi satu jebakan berbahaya bagi Presiden Jokowi. Bila salah melangkah kali ini, maka di masa yang akan datang ia akan berhadapan dengan persoalan yang muatannya sama, bahkan dengan skala yang lebih rumit dan berbahaya. Dan bila kali ini keputusannya salah, sangat bisa hal tersebut nantinya akan menjadi jerat baginya, dan ia tidak bisa lagi memutuskan sesuatu yang lain. 

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sudah semestinyalah setiap kita berpijak kepada konstitusi sebagai aturan main, bukan yang lain. Dan sudah semestinya, kita harus bisa menempatkan urusan keyakinan di ranah privat, dan tidak begitu mudah menariknya ke wilayah publik, yang mana hal tersebut sudah pasti akan berbenturan dengan konstitusi dan juga dengan sesama anak bangsa lainnya. Padahal, kita merupakan anak bangsa yang memiliki hak yang sama di negeri ini tanpa terkecuali apapun keyakinan kita masing-masing. 

Seruan menolak pemimpin kafir, Risalah Istiqlal dan seruan bernada sejenis semestinya tidak digunakan dalam kehidupan bernegara, karena sangat jelas hal tersebut mengusik rasa keadilan sesama anak bangsa yang lain, yang berbeda pemahaman dengan kita. Inilah sebenarnya yang menjadi sumber kegaduhan di bangsa kita. Dan seringkali kita menutup mata dengan aksi sekelompok orang yang tidak henti-hentinya menyuarakan sesuatu hal yang sifatnya sangat prinsip, seakan-akan dasar negara dan konstitusi kita belum final.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline