Saling klaim dalam politik adalah hal biasa. Apalagi menjelang penyelenggaraan event politik, biasanya akan semakin gencar dan massif demi tercapainya tujuan politik. Dalam event Pilkada DKI kali ini, hal itu juga sedang terjadi. Namun kali ini sangat menarik, karena bukan hanya Paslon yang membuat intrik. Google, mesin pencari terhandal itu, konon ikut juga keserempet intrik paslon dan timses yang mencoba peruntungan politik dengan mencoba memanipulasi fakta.
Kita belum lupa dengan pernyataan kontrovesial Anies Baswedan yang menyebut Fokelah yang berperan membuat sungai-sungai di Jakarta bersih. Pernyatan Anies Baswedan ini langsung mendapat perlawanan dari netizen, terutama Ahokers yang tidak terima dengan kebohongan Anies. Untuk menguatkan bantahannya, Google pun dibawa-bawa dan ikut menjadi saksi kebohongan Anies. Dan memang Anies dengan sengaja telah bersikap tidak fair demi mengecilkan, bahkan dengan sengaja hendak menafikan pestasi Ahok. Ia tidak sanggup bersikap ksatria dengan mengakui kinerja Ahok, bahkan berpura-pura memuji Foke, yang bahkan sudah lupa jika ia pernah mengutip sampah di kali Jakarta.
Tidak lama berselang, Sylviana Murni, yang sengaja dipasangkan dengan Agus Yudhoyono guna menantang Ahok, ikut-ikutan menggunakan cara Anies guna mempreteli elektabilitas Ahok. Ia nyata-nyata mengkloning metode Anies Baswedan, dengan menafikan peran eks bosnya itu dalam hal RTPRA, yang disebutnya hanya ganti casing dan sudah ada di zamannya Sutiyoso. Di sini
Bedanya, kali ini Sylviana tidak diusilin oleh Google seperti halnya Anies Baswedan, yang balik menanyakan jika yang dimaksud adalah Ahok bukan Foke. Mungkinkah Google memiliki sentimen pada Foke, sehingga niat Anies pun ikut terganjal? Atau, Google memang berpihak pada Sylviana, sehingga meloloskan saja ketika di laman pencariannya diketik " RTPRA dibangun Sutiyoso" Kita tidak tahu pasti. Akan tetapi, bisa juga kemungkinan Ahok sudah tidak mampu lagi "membeli" Google, karena harus memikirkan anggaran untuk program "Membasmi Tikus" di Jakarta, yang langsung mendapat penolakan dari politisi Gerindra dan PKS itu.
Sangat menarik, ketika Sylviana tertarik dan mengikuti cara Anies Baswedan untuk merontokkan elektabilitas eks bosnya sendiri. Boleh jadi, Sylviana sangat terpesona dengan "Indonesia Mengajar" yang pernah disuarakan Anies Baswedan. Dengan mempertimbangan hal itu, bisa saja Sylviana mengamini bahwa apa yang diajarkan Anies Baswedan pasti benar, sehingga ia tanpa edit langsung mengcopy paste ajarannya Pak Guru Anies.
Atau kemungkinan lain, boleh jadi Sylviana dimanfaatkan oleh kubu AHY untuk sebisa mungkin mempreteli prestasi dan pencapaian Ahok dengan mengeksploitasi habis-habisan Sylviana Murni yang sudah pasti banyak tahu tentang seluk beluk eks bosnya itu, terutama kekurangan dan kelemahannya.
Kubu AHY tentu sangat berkepentingan dengan mengeksploitasi Sylviana, karena nyaris tidak ada yang bisa diandalkan oleh AHY untuk menantang Ahok selain Pak Beye, yang adalah ayah kandungnya. Kegantengan dan berlari yang selama ini dijualnya ke warga Jakarta, tentu sangat tidak memadai untuk menandingi Ahok. Bahkan Ahok terlihat tidak begitu tertarik mengomentari kegantengan Agus. Pesona kegantengannya juga terbukti gagal dan tidak mampu menahan Ruhut Sitompul yang tetap menolak mendukung AHY, bahkan sekalipun Agus sudah berlari mengejar Ruhut, namun Ruhut tetap tidak bisa terkejar.
Memang, Pilkada DKI ini tergolong spesial, ada dua kubu yakni Sandiaga dan AHY yang senang berlari. Petahana, sepertinya sama sekali tidak tertarik dengan ide berlari ini, karena mereka sangat tahu bahwa berlari itu tidak memberi dampak apa-apa selain pamer. Bisa pamer celana dan isinya seperti yang dipraktekkan oleh Sandiaga, atau bisa juga pamer pesona kegantengan seperti yang dilakukan Agus.
Namun bagi petahana, keduanya tidak perlu ditiru, karena memang tidak memberi dampak apapun bagi kemajuan Jakarta. Dan, sebagai ganti berlari tanpa tujuan yang digaungkan oleh kedua rivalnya, petahana meluncurkan gerakan "Basmi Tikus". Membasmi tikus sudah pasti ada adegan larinya, berlari ketika mengejar tikus yang mencoba lari. Dan bedanya, berlari seperti program petahana ini sudah pasti jauh lebih menarik, karena satu ekor tikus dihargai Rp 20.000. Lumayan bila berhasil menangkap sepuluh ekor. Selain dihargai dengan hadiah uang, Jakarta sudah pasti makin sehat bila tikus-tikus ini bisa dibasmi.
Demikianlah sebenarnya, beda berlari hanya untuk pencitraan dan pamer isi celana dengan berlari sambil menangkap tikus ala petahana. Pembaca boleh menilai berlari yang mana yang benar-benar memberi manfaat nyata bagi Jakarta.
Oh iya, karena judulnya tadi menyangkut Google, kita coba yuk! Masing-masing coba ketik, " Berlari Menangkap Tikus dengan AHY" atau " Berlari Menangkap Tikus dengan Anies". Apa kata Google? Langsung dishare ya!