Lihat ke Halaman Asli

Omri L Toruan

Tak Bisa ke Lain Hati

Ahok, Politik Primitif dan Pesan untuk Huntington

Diperbarui: 15 Oktober 2016   11:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ahok, sumber gambar : harianterbit.com

Rekaman video kegiatan Gubernur DKI Jakarta Basuki T Purnama di Pulau Seribu kembali dibuat heboh oleh pihak-pihak yang selama ini belum menemukan celah untuk menjatuhkan Ahok. Saking semangatnya, rekaman video sengaja dipotong, lalu disebarkan dan menuduh Ahok telah menistakan Al Quran.

Dan entah kenapa cara-cara seperti ini masih laku dan menarik untuk dipakai guna menjatuhkan seseorang. Tentu hanya orang picik dan bermental korbanlah yang masih mengandalkan cara-cara yang tidak fair dan tidak beradab seperti itu untuk mencapai tujuannya.

Mereka tidak peduli bila masyarakat salah persepsi dan intepretasi dengan berita yang mereka sebarkan. Yang ada di pikiran mereka hanya satu, bagaimana supaya Ahok bisa jatuh dan tersungkur. Kebetulan, saya juga sudah menyaksikan rekaman tersebut, dan jujur tidak ada indikasi bahwa Ahok telah melakukan penistaan  seperti yang mereka tuduhkan.

Tidak perlu kecerdasan tingkat tinggi untuk bisa mencerna ucapan Ahok. Hanya perlu kejujuran dan niat baik untuk memahaminya. Jikalau niat sudah jahat, maka anda akan tahu sendiri jadinya seperti apa.

Semua orang pastilah tahu bahwa yang dimaksud Ahok adalah ada orang yang berbohong dengan sengaja menggunakan ayat Al Maidah sebagai alat agitasi dan kampanye yang mendiskreditkan. Justru kritik Ahok ini hendak menyadarkan semua pihak untuk tidak mempermainkan ayat demi hasrat berkuasa, tetapi hendaknya menempatkan ayat-ayat suci secara sakral dan pada tempatnya. Bahkan, masyarakat Kepulauan Seribu  yang hadir di tempat, tidak keberatan dan memprotes ucapan Ahok , padahal merekalah yang seharusnya  duluan tersinggung dan melakukan protes, jika benar Ahok melakukan apa yang dituduhkan.

Ahok justru memberikan edukasi kepada masyarakat  supaya cerdas menyikapi Pilkada DKI, karena banyak pihak menghalalkan segala cara untuk bisa menggapai hasrat politik dan syahwat berkuasa mereka yang sangat sulit dibendung. Umumnya mereka adalah pihak-pihak yang selama ini telah menjadi korban dari kebijakan dan konsistensi Ahok untuk mengelola anggaran dan birokrasi dengan benar; mereka yang secara ideologi tidak rela dipimpin oleh Ahok, sehingga memiliki kepentingan yang sama untuk menemukan cara apapun untuk bisa menghentikan Ahok.

Jika satu lawan satu mereka rasa tidak mampu, main keroyokan dengan pentungan kayu dan lempar batu pun akhirnya menjadi pilihan, yang penting Ahok bisa dikalahkan dan dijatuhkan. Inilah yang sesungguhnya mereka lakukan pada Ahok dengan mempolitisasi agama dan etnisAhok. Dengan cara demikian, mereka berharap memiliki dasar atas nama mayoritas untuk memegang kontrol atas Jakarta. Padahal pilkada adalah proses politik bukan agama.

Samuel P. Huntington pernah mengutarakan pemikirannya tentang Benturan Peradaban atau clash of civilizations sebagai sebuah teori, bahwa identitas budaya dan agama seseorang akan menjadi sumber konflik utama di dunia pasca-Perang Dingin. Perspektif Huntington ini, walaupun sebenarnya sudah terbantah dan gugur, namun menarik bahwa ternyata hipotesanya itu sering dimunculkan oleh  kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan ekonomi dan politik ,namun yang selalu memunculkannya melalui  sentimen atau baju agama guna mendapatkan basis dukungan dan simpati.

Dalam konteks Pilkada DKI, teori Huntington ini kembali  menjadi relevan, ketika isu etnis dan agama kembali mengemuka. Pemilik kepentingan ekonomi dan politik terus berusaha menggandeng kepentingan agama, dan mulai menggalang kekuatan sebagai kesamaan identitas guna menolak kepemimpinan Ahok, serta kelanjutannya untuk lima tahun ke depan melalui Pilkada DKI 2017.

Sulit diterima, kecuali oleh mereka yang lemah akal bahwa kontestasi Pilkada DKI hendak dikunci di ruang peradaban bernama etnis dan agama, dengan demikian mereka  bisa membenturkan etnis-agama petahana dengan kelompok mayoritas, sebagai kekuatan besar yang paling mungkin untuk bisa menumbangkan Ahok. tentu,  jika mereka berhasil menguncinya di ruang itu.

Ajakan untuk tidak memilih pemimpin kafir, etnis Tiongkok, atau sekaligus keduanya mulai marak. Gerakan untuk menggiring opini makin hebat, dengan isu yang ditonjolkan adalah benturan etnis- agama warga mayoritas dengan petahana, bahkan dengan mengikutsertakan affirmasi dari tokoh-tokoh agama dan etnis, sebagai konfirmasi bahwa yang sedang terjadi benar merupakan benturan peradaban.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline